Mataram (Suara NTB)- Pemprov NTB masih menjadikan penanganan stunting sebagai salah satu program prioritas bidang kesehatan. Terlebih penanganan stunting ini menjadi bagian dari instruksi pemerintah pusat yang harus diatensi oleh pemerintah daerah.
Di Provinsi NTB sendiri, tersisa 13,49 persen anak usia 0-59 bulan yang menderita stunting. Jika dijumlahkan, sebanyak 59.302 balita yang masih menderita stunting. Mereka inilah yang menjadi sasaran pemerintah daerah dan stakeholder dalam agenda penuntasan kasus stunting di tahun 2024 ini.
Angka 13,49 persen itu merupakan Data Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) tahun 2023 kemarin. Angka ini dinilai sebagai pencapaian yang melebihi target, karena pemerintah menargetkan di tahun 2023 kemarin, angka stunting bisa turun menjadi 16 persen dan 2024 harus turun minimal 14 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Dr. dr. H. Lalu Hamzi Fikri mengatakan, risiko anak stunting di bawah dua tahun, sehingga penanganan terbaik di usia ini. Jika penanganan anak stunting di atas tiga tahun misalnya, tetap akan bisa tertangani, namun tak sebaik periode emas ini.
“Penanganan stunting terus kita lakukan berdasarkan data by name by address yang kita miliki,” ujar H. Lalu Hamzi Fikri pekan kemarin.
Ia mengatakan, dalam menangani stunting, pemerintah melakukan intervensi spesifik dan sensitif berdasarkan Perpres No. 72/2021. Di mana indikator sasaran intervensi sensitif antara lain pelayanan KB pasca-persalinan, keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan sosial pangan, keluarga berisiko stunting yang butuh pendampingan dan lain sebagainya.
Sementara intervensi spesifik memiliki sasaran antara lain ibu hamil kurang energi kronik yang mendapatkan tambahan asupan gizi, remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah, bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI ekslusif dan sejumlah indikator sasaran lainnya.
Salah satu upaya menurunkan angka stunting di NTB yaitu melalui Posyandu Keluarga yang berjumlah 7.716 unit. Dengan menjadi Posyandu Keluarga, Posyandu NTB semakin berjalan dengan aktif, kualitasnya terus ditingkatkan.
Adapun tren perkembangan dan penurunan stunting Provinsi NTB dalam lima tahun terakhir dari tahun 2019 sampai dengan September 2023. Yaitu tahun 2019 stunting NTB berada di angka 25,9 persen, turun 2,4 persen. Kemudian di tahun 2020 angka stunting NTB berada di angka 23,51 persen, pada tahun 2021 angka stunting NTB berada pada posisi 19,23 persen, turun 2,4 persen.
Selanjutnya, di tahun 2022 angka stunting NTB berada pada posisi 16,84 persen, turun hingga 3,0 persen sehingga angka stunting di tahun September tahun 2023 berada pada angka 13,49 persen, melebihi target yang ditentukan pada tahun 2023 yakni 16 persen.
Rapat Diseminasi Hasil Pengawasan Stunting
Sebelumnya dalam Rapat Diseminasi Pengawasan Stunting bersama BPKP NTB, Kepala Bappeda NTB, Dr.Ir.H.Iswandi, M.Si Doktor Iswandi menyampaikan bahwa saat ini fokus yang dilakukan adalah menurunkan angka stunting dan kemiskinan ekstrem. Dimana kondisi ini, harus diturunkan menjadi 14 persen untuk stunting dan 0 persen untuk kemiskinan ekstrem sesuai target nasional. Bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah sehingga membutuhkan kolaborasi di semua lintas sektor.
“Oleh karena itu melalui pertemuan ini dilakukanlah pemerikasaan oleh BPKP untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut sudah on the track atau sesuai dengan jalurnya untuk memastikan Provinsi NTB dan Kabupaten/Kota memiliki progress yang akseleratif didalam menurunkan stunting dan menghapus kemiskinan ekstrem di Tahun 2024,’’ ujar Iswandi.
Ada beberapa renaksi yang perlu dilakukan dalam rangka penurunan stunting. Diantaranya dengan berkolaborasi dengan KUA melalui Kementerian Agama dalam hal pemberian edukasi bagi masyarakat yang akan menikah. Renaksi lainnya ialah melalui UKS di setiap sekolah-sekolah di NTB dengan memberikan sosialisasi berkaitan dengan kesehatan remaja atau edukasi-edukasi yang salah satunya dalam hal pernikahan dini.
“Dengan UKS di setiap sekolah, program penanggulangan kemiskinan juga dapat berjalan, ditambah dengan adanya Posyandu Keluarga (Posga) yang ada di NTB. Kita perlu bangga karena Posga di NTB akan diadopsi menjadi layanan primer di tingkat nasional oleh Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Dalam hal kemiskinan ekstrem, memang terbatas dalam anggaran di daerah. Namun dapat diefektifkan melalui dana pusat serta penguatan data melalui data P3KE. ‘’Kita juga dapat melakukan kolaborasi bersama BPJS, melakukan pengecekan nama-nama pada data BPJS dengan menyandingkan data P3KE yang ada di desa, sehingga semua masyarakat miskin yang sudah memiliki kartu BPJS,” tambahnya.
Iswandi mengharapkan kolaborasi bersama semua di seluruh perangkat daerah untuk dapat melihat sumberdaya apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk menurunkan kemiskinan ekstrem dan stunting di NTB. (ris)