Mataram (Suara NTB) – Sektor pertanian khususnya di NTB mengalami tantangan tidak sederhana. Perubahan iklim, dan pertanian tradisional menjadi tantangan utama provinsi lumbung pangan nasional ini untuk memproduksi pangan. Prof. Ir. Suwardji, M.App.Sc., Ph.D., peneliti Universitas Mataram mengemukakan, NTB adalah daerah yang selalu swasembada pangan. Terutama padi dan jagung. Namun belakangan produksinya menurun.
Berdasarkan data BPS terbaru, produksi padi di Provinsi NTB pada awal tahun 2024 ini mengalami penurunan yang cukup tajam akibat perubahan iklim. Perkiraan produki padi di NTB pada Bulan Januari sebesar 29.032 ton Gabah Kering Giling (GKG), pada Bulan Februari sebesar 31.536 ton GKG atau total produksi padi pada dua bulan awal tahun 2024 sebesar 60.568 ton.
Jika dibandingan dengan produksi pada periode yang sama tahun sebelumnya, pada Januari 2023, produksi padi NTB sebesar 36.438 ton (GKG), dan Februari 2023 produksi sebesar 150.184 ton GKG. Atau total produksi pada Januari-Februari 2023 sebesar 186.622 ton GKG.
Prof. Suwardji mengatakan, pemerintah bersama seluruh stakeholdernya harus mengoptimalkan lahan yang ada. Tidak hanya mengandalkan produksi pada pada lahan pertanian basah. “Saat perubahan iklim seperti ini, harus gandeng para pihak. Petakan mana lahan-lahan yang bisa didorong untuk menghasilkan padi,” katanya.
Menurutnya, di NTB memiliki potensi lahan kering yang tidak kecil luasannya. Lahan kering ini yang harus dimanfaatkan untuk mendukung produksi padi pada lahan basah. “Ini yang belum dilakukan. Kalau itu bisa dilakukan, kita akan kembali berswasembada. Didukung lagi dengan harga hasil produksi yang menjanjikan, petani juga pasti akan sangat tertarik terus menanam padi,” imbuhnya.
Untuk mendorong produktivitas padi pada lahan kering ini, dapat juga memanfaatkan citra satelit untuk memetakan berapa hektar yang dapat didorong dimanfaatkan di Pulau Lombok, demikian juga berapa hektar luasannya yang bisa dimanfaatkan di Pulau Sumbawa.
Menurut Prof. Suwardji, tidak ada alasan bagi daerah ini untuk turun produksi. Sebab untuk mengoptimnalkan keberadaan lahan-lahan kering ini, sudah ada varietas bibit unggul yang bisa dimanfaatkan. “Sebenarnya tidak ada alasan kalau kita turun produksi. Tapi pesimis saya, bisa jadi karena persoalan penganggaran yang masih sangat kecil ke sektor ini,” katanya.
Harusnya dipertimbangkan, jika sektor pertanian berkontribusi lebih dari 20 persen terhadap PDRB, setidaknya 10 persen, atau 20 persen anggaran dikembalikan lagi kepada sektor pertanian. Untuk memotivasi dan terus menggerakkan sektor ini tetap produktif. “Menurut saya anggaran difokuskan ke sektor pertanian saja dulu. Karena sektor lain itu kalau sudah ada potensinya, investor otomatis sudah mau tertarik menggarapnya,” tambahnya.
Anggaran dimaksud untuk sektor pertanian ini, lanjut Prof. Suwardji dapat dilakukan untuk pengembangan teknologi pertanian, teknologi pemupukan, pengembangan smart farming yang harus terus digalakkan. Serta kebutuhan sektor pertanian lainnya. Dengan demikian, diharapkan sektor pangan ini tetap jaya di Provinsi Bumi Gora.
Jika dilihat data Bappeda NTB, anggaran untuk sektor pertanian sangat kecil. Hanya 2,2 persen dari total belanja APBD. Itupun sudah termasuk belanja pegawai. Padahal, dalam komposisi PDRB NTB, sektor pertanian pada tahun 2023 berkontribusi sebesar 22,23 persen. (bul)