Tanjung (Suara NTB)- Pergerakan harga beras medium yang saat ini menyentuh Rp 300 ribu/25 kg atau Rp 12 ribu per kg di pasaran dinilai positif oleh DPRD Lombok Utara. Momentum harga tersebut harus dijaga agar fluktuasinya tidak terlampau berlebihan sehingga menimbulkan inflasi dan gangguan daya beli. Oleh karena itu, DPRD meminta kepada Pemda khususnya Pemprov NTB dan Bulog NTB untuk mengendalikan volume gabah atau beras agar tidak keluar daerah secara berlebihan.
“Pantauan kita di beberapa toko dan kios yang menjual beras, harga relatif terjaga. Momentum harga ini kita harapkan tetap berlaku stabil untuk jangka panjang,” ungkap Wakil Ketua DPRD KLU, sekaligus Ketua HKTI KLU, Hakamah, Jumat 26 april 2024 Ia menjelaskan, berdasarkan informasi yang beredar di media, pemerintah pusat sudah menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditas beras dan jagung. Khusus beras, perubahan HET berlaku untuk kualitas premium dan medium.
Kualitas beras premium, harga eceran tertingginya naik menjadi Rp 14.900/kg pada 10-23 Maret 2024 lalu. HET tersebut diikuti oleh perubahan HET beras medium menjadi Rp 12.500 per kg pada 31 Mei 2024.
“Sesuai keterangan Bulog pusat di media, maka HET terbaru untuk beras medium belum genap satu bulan. Artinya masih relatif baru, dan ini harus menjadi acuan bagi TPID untuk terus memantau dan mengendalikan inflasi di daerah khususnya pada komoditas bahan pokok beras,” terangnya.
Hakamah menilai, kenaikan HET kebutuhan pokok beras tentu menjadi angin segar bagi petani padi. Setidaknya petani dapat menjual gabah sesuai standar harga yang tidak merugikan petani. Sebab hingga saat ini, petani kerap dipermainkan oleh mekanisme tengkulak terutama saat musim panen tiba.
Namun demikian, kata dia, kenaikan HET beras tentu akan berdampak luas bagi masyarakat dimana lebih banyak masyarakat bertindak selaku konsumen daripada produsen. Diharapkan, kenaikan HET beras ini tidak mempengaruhi atau menurunkan daya beli.
“Penting dipikirkan oleh Pemerintah di daerah, baik Provinsi dan Kabupaten, bahwa kenaikan HET ini harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk menyerap harga. Artinya, penghasilan masyarakat harus dijaga,” tegasnya.
HKTI KLU kata Hakamah, lantas mendorong, agar ke depan Pemda mulai mengintervensi bentuk pelaksanaan program fisik baik di APBD dan APBDes dengan melibatkan lebih banyak tenaga kerja asli KLU.
“Proyek sebesar apapun di KLU harus melibatkan tenaga kerja lokal. Kalau memang proyeknya besar, waktu pengerjaan agar diperpanjang sehingga tidak menjadikan etos kerja buruh sebagai alasan masuknya tenaga kerja luar KLU.”
“Masyarakat KLU juga butuh pekerjaan dari dana APBD ini. Kita tidak ingin warga kita jadi penonton di tengah megahnya kantor-kantor Pemerintah,” tandasnya. (ari)

