spot_img
Kamis, Desember 12, 2024
spot_img
BerandaNTBMinimalisir Kasus DBD

Minimalisir Kasus DBD

JUMLAH penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di NTB masih cukup tinggi. Data di Dinas Kesehatan (Dikes) Provinsi NTB, hingga 17 Mei 2024, ada 1.762 kasus DBD. Data ini merupakan data dari periode Januari hingga 17 Mei 2024. Dari ribuan kasus DBD ini, satu pasien meninggal dunia pada bulan April lalu.

Sementara khusus di bulan Mei sampai saat ini, kasus DBD tercatat sebanyak 47 kasus. Dengan rincian 10 kasus di Lombok Tengah, 18 kasus di Lombok Utara, 14 kasus di Sumbawa, 1 kasus di Kabupaten Bima, dan 4 kasus di Kota Bima.

Kepala Dikes Provinsi NTB Dr. dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MARS., menegaskan komitmen pihaknya dalam meminimalisir kasus DBD. Menurutnya, 3 M (menguras tempat penampungan air, menutup tempat-tempat penampungan air dan mendaur ulang berbagai barang yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat berkembang) harus dilakukan.

‘’Yang jelas 3 M dilaksanakan. Sanitasi, lingkungan, itu harus dilaksanakan. Karena DBD ini musiman. Dia berkembangbiak di tempat yang bersih. Jadi, selain 3M plus menghindari gigitan nyamuk atau preventif. Misalnya, tempat gantungan baju ada risiko nyamuk dewasa. Dibolehkan juga menggunakan obat nyamuk yang aman seperti aerosol. Asalkan tidak punya gangguan pernapasan, asma dan sebagainya,’’ ujarnya akhir pekan kemarin.
Menurutnya, bagi yang mau aman dari gigitan nyamuk pembawa DBD, di zaman dulu sering memakai kelambu dan dinilai efektif. Kalau tempat-tempat yang tinggi kasus malaria, ujarnya, disarankan menggunakan kelambu. ‘’Ada obatnya kelambunya, sehingga nyamuk tak bisa mendekati,’’ tambahnya.

Diakuinya, beberapa waktu lalu Dikes Provinsi NTB ditawari untuk Wolbachia oleh pemerintah pusat. Penggunaan Wolbachia itu, ujarnya, sseperti nyamuk yang diisi bakteri Wolbachia, kemudian dikawinkan dengan nyamuk lokal. Generasinya nanti akan menghasilkan nyamuk yang tidak menukarkan DBD. Tapi panjang prosesnya, melahirkan sampai 5-6 tahun.

‘’Tapi ini masih uji coba di beberapa tempat. Kalau ini baru kebijakan, baru kita implementasikan. Pada tahap uji coba ini masih pro dan kontra. Ini teknologi mengurangi nyamuk Aedes Aegypti,’’ terangnya.

Memang Wolbachia ini ada tren penurunan hampir 80 persen nyamuk pembawa DBD. Kemudian ada vaksin DBD. Tapi belum jadi program, tidak gratis. Harapan kita ke depan menjadi proteksi. Diakuinya, penggunaan vaksin DBD sudah ada, tapi terbatas dan bayar. Selain itu, belum menjadi program pemerintah yang gratis.

Untuk itu, pihaknya menyarankan jika ada warga yang terkena gejala DBD segera membawa ke fasilitas kesehatan, karena kalau terlambat ditangani, maka menyebabkan penderita DBD meninggal. Menurutnya, ada tiga fase gejala DBD, fase awal sampai tiga hari, fase kritis. ‘’Sering menjadi kelengahan ketika panas satu sampai tiga hari. Kadang-kadang turun panas. Pasiennya minum Paracetamol, turun panas hari ketiga. Tapi ternyata dia tidak rehidrasi atau lengah tidak periksa ke petugas kesehatan,’’ tambahnya.

Pada fase kritis, ujarnya, trombositnya turun. Kalau turun, kalau tidak rehidrasi, tidak minum, tidak ada infus yang masuk, maka terjadi penurunan trombosit. Itu sering terjadi Dengue Shock Syndrome. Ini trombosit menurun secara mendadak, kadang sampai tak sadar dan terjadi kematian.

‘’Kemudian fase pemulihan. Di situlah sebenarnya. Jadi harus waspada pada hari pertama sampai ketiga. Jangan sampai ketika panas, apa penyebabnya. Apa panas yang disebabkan virus dan bakteri. Ketika panas mendadak tiba-tiba, konsumsi obat penurun panas. Bagusnya memang lebih baik konsultasi dengan petugas kesehatan,’’ tambahnya. (ham)

IKLAN

spot_img
RELATED ARTICLES
- Advertisment -



VIDEO