Sumbawa Besar (Suara NTB)- Penyelidik pada Kejaksaan Negeri, memanggil tiga rekanan penyedia barang dan jasa serta seorang pejabat RSUD Sumbawa dalam penanganan lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tahun 2022. “Jadi, untuk hari ini ada empat orang yang sudah kita mintai klarifikasi sehingga untuk sementara ini ada 9 orang yang sudah dipanggil oleh penyelidik,” kata Kasi Intelejen Kejari Sumbawa, Zanuar Irkham, kepada Suara NTB, Rabu 19 juni 2024.
Zanuar melanjutkan mereka yang dimintai klarifikasi hari ini (kemarin, red) merupakan penyedia barang dan jasa yang bekerjasama dengan RSUD. Para rekanan ini merupakan rentetan dari saksi yang sudah diperiksa sebelumnya di kasus suap dan gratifikasi.
“Orang yang kita mintai klarifikasi hampir sama dengan saksi yang kita periksa di penyidikan kasus suap dan gratifikasi dengan terpidana dr. Dede Hasan Basri,” sebutnya.
Menurutnya pengusutan terhadap kasus tersebut, berkaitan dengan hasil LHP BPK-RI tahun 2022 lalu. Dimana ditemukan adanya kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) terhadap belasan rekanan penyedia (kontraktor) di pelaksanaan sejumlah kegiatan.
“Sesuai dengan LHP BPK-RI merekomendasikan agar dapat dikembalikan oleh penyedia jasa bersama PPK,” ucapnya. Kelebihan pembayaran itu ditemukan pada pekerjaan pembangunan pagar, paving block dan rehabilitasi ruang rawat. Selain itu ada anggaran makan minum di RSUD Sumbawa yang masuk dalam item temuan BPK-RI.
“Sesuai hasi kajian dan telaah, kita menemukan adanya potensi kerugian negara tinggal kita lakukan pendalaman lebih lanjut,” tukasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Suara NTB, di hasil audit kepatuhan tahun 2022 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan dugaan penyimpangan anggaran senilai Rp1,087 miliar. Masalah ini juga menjadi fakta persidangan dengan terdakwa dr. Dede Hasan Basri di kasus suap dan gratifikasi. Bahkan di LHP BPK juga sudah jelas yang bertanggung jawab atas munculnya kerugian negara itu adalah Direktur RSUD. Kerugian negara tersebut muncul dari adanya kelebihan pembayaran yang dilakukan PPK ke sejumlah rekanan. (ils)