Tanjung (Suara NTB) – Calon anggota legislatif (caleg) terpilih DPRD Kabupaten Lombok Utara (KLU), ikut khawatir terhadap keberlangsungan pariwisata akibat dampak krisis air bersih. Persoalan yang menimbulkan multiefek ini layak diatensi oleh pemerintah kabupaten, provinsi bahkan pusat.
Kepada Suara NTB, Selasa 25 JUNI 2024, caleg terpilih dari Partai Demokrat KLU, Ardianto, S.H., menegaskan, kontrak 30 tahun bukan waktu yang singkat di tengah komitmen pengendali lingkungan yang masih dipertanyakan. Pemda KLU melalui keterwakilan Dewan Pengawas PDAM harus bisa memberi masukan terhadap implementasi kontrak maupun komitmen AMDAL.
“Dari awal (2010-2019) saya bersikeras mengkritisi perihal munculnya kekhawatiran lingkungan, dan terbukti terjadi,” tegasnya.
Ia menilai, dalam kontrak 30 tahun patut dipertanyakan secara bisnis. Apakah KPBU ini nantinya akan menguntungkan masyarakat maupun negara atau tidak? Sebab, di sisi lain, pihaknya juga sempat mendengar bahwa pemerintah pusat melalui BWS telah menawarkan kepada Pemda untuk mendistribusikan air bersih melalui pipa bawah laut. Sangat wajar bagi dia, publik kemudian mempertanyakan alasan penolakan tawaran pemerintah pusat tersebut.
Ia menegaskan, dinamika KPBU pada tahun kedua kontrak ini patut diatensi semua pihak. Pasalnya, investasi baru berjalan namun memunculkan problem serius terkait lingkungan, sehingga berdampak terhadap sanksi putusnya pasokan kepada masyarakat. Oleh karenanya, evaluasi investor air bersih ini patut dilakukan.
Politisi Partai Demokrat ini melihat, materi MoU perlu diperdalam oleh Pemda maupun lembaga pengawas kebijakan termasuk DPRD. Apakah dalam MoU telah diatur terkait pengeboran. Jika diatur, maka pertanyaan layak dialamatkan ke Pemda, apakah Pemda mengetahui atau tidak bahwa pengeboran dilarang oleh aturan.
“Atau sebaliknya, pengeboran boleh dilakukan sepanjang ada izin. Pertanyaannya, pemerintah tahu tidak bahwa itu belum ada izin? Nah, isu dampak lingkungan ini bisa jadi materi evaluasi,” tegasnya.
Ardianto menyambung, dirinya tidak apatis terhadap investasi. Namun demikian, apabila investasi yang ada akan merugikan masyarakat, merusak lingkungan, maka tawaran investasi itu harus dihitung dan harus dipertimbangkan oleh pemerintah.
“Supaya jangan ujug-ujug, dengan dalih kepentingan masyarakat sesuatu yang sudah melanggar hukum kita legalkan kembali. Minta tolong misalnya, ini kan kurang bagus. Karena siapapun pasti berbicara kepentingan masyarakat, tapi jangan masyarakat dijadikan sebagai modal
Bahkan bagi Ardianto, isu lingkungan yang berhembus ke publik yang memunculkan fakta tidak ada izin sebagai dasar produksi dan jual beli air, dinilai sebagai pelanggaran. Dalam hal ini, Pemda KLU maupun PDAM melanggar aturan legal formal karena telanjur menjual air tanpa dasar hukum.
“Jadi di sini pemerintah yang melanggar aturan, jangan hanya TCN yang dipersalahkan karena secara bersama-sama mengetahui sesuatu. Ketika tidak izin tapi diberikan (operasi), maka keduanya bisa dipersoalkan karena turut serta melakukan pendaftaran hukum,” jelasnya. (ari)