Mataram (Suara NTB) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mendorong pemerintah daerah (Pemda) di seluruh Indonesia untuk membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) pengendalian inflasi. SOP ini penting setelah hampir dua tahun sejak September 2022, telah dilaksanakan Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah setiap minggunya.
Hal tersebut menjadi penekanan Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Tomsi Tohir saat memimpin Rakor Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar secara hybrid dari Gedung Sasana Bhakti Praja (SBP), Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Pj Gubernur NTB H. Hassanudin dalam rakor ini diwakili oleh Asisten II Setda NTB Dr. H Fathul Gani dan didampingi oleh Kepala Biro Perekonomian Setda NTB H. Wirajaya Kusuma dan Kadis Pertanian NTB Muhammad Taufieq Hidayat.
Menurut Tomsi Tohir, SOP pengendalian inflasi ini harus mengatur program pengendalian jangka pendek maupun jangka panjang.
“Program-program yang berkaitan dengan jangka panjang, antisipasi jangka panjang juga masih belum masif. Nah ini yang harus kita pikirkan, dengan pengalaman dua tahun kita rapat kita tentunya sudah harus ada langkah konkret yang menjadi SOP bagi setiap daerah,” kata Tomsi.
Tomsi menyampaikan, selama hampir dua tahun pula telah banyak hal yang sudah dicapai. Capaian itu termasuk penyelesaian-penyelesaian yang bersifat insidental berkaitan dengan pupuk, imunisasi, hingga pendataan pencetakan sawah.
Namun demikian, program-program pengendalian inflasi masih perlu dievaluasi menjadi lebih baik lagi, seperti masih ada Pemda yang belum menerapkan SOP baku ketika terjadi pergeseran angka inflasi.
“Teman-teman di daerah ini masih ada yang belum melakukan hal-hal yang baku, sebagai contoh kalau terjadi perubahan pergeseran berkaitan dengan status atau angka inflasi pada provinsi yang statis. Itu berarti terobosan kreatif yang dilakukan oleh teman-teman kepala daerah di daerahnya masing-masing itu masih belum tepat sasaran,” ujarnya.
Dia melanjutkan, letak wilayah bukan menjadi alasan Pemda tak bisa melakukan pengendalian inflasi. Dia mencontohkan daerah di Indonesia bagian timur seperti di wilayah Papua yang tidak semua angka inflasinya tinggi. Justru masih banyak Pemda di Indonesia bagian barat memiliki inflasi tinggi di atas rata-rata nasional 2,51 persen,
“Di sini bisa kita lihat di atas 2,51 persen, mulai dari Bali, Sulteng, Lampung, Kaltim, Aceh, Malut, Jambi, Sumut, Kepri, Riau, Maluku, Bengkulu, Papua Barat, Gorontalo, Sumbar,” tambahnya.
Oleh sebab itu, pihaknya menegaskan, transportasi hingga cuaca tidak bisa menjadi alasan. Pemda harus bisa mengantisipasi hal tersebut sebaik-baiknya. Kemudian program-program yang berkaitan dengan jangka panjang perlu diantisipasi secara masif.
“Nah ini yang kita harapkan, sehingga teman-teman yang masih di atas 2,51 ini bisa memperbaikinya,” tandas Tomsi.
Pada kesempatan sebelumnya, Kepala Biro Perekonomian Setda NTB Wirajaya Kusuma, mengatakan, inflasi Provinsi NTB bulan Juni 2024 berada pada angka yang rendah yaitu 2,12 persen. Pihaknya terus berupaya agar angka inflasi ini tetap berada di bawah nasional.
Dengan inflasi yang terkendali manandakan bahwa dari aspek harga bahan pokok terkendali dengan baik. Terlebih jika melihat pertumbuhan ekonomi NTB di triwulan pertama yang mencapai 4,75 persen serta inflasi 2,12 atau di bawah nasional, artinya pertumbuhan ekonominya berkualitas.
“Artinya masyarakat itu mampu mendistribusikan pendapatannya itu ke tempat-tempat yang lain, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya,” kata Wirajaya.
Wirajaya mengatakan, untuk mempertahankan angka inflasi yang bagus tersebut, Pemprov NTB bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) akan tetap melaksanakan sembilan langkah konkret seperti melakukan pemantauan harga dan stok untuk memastikan kebutuhan tersedia, melaksanakan rapat teknis tim pengendalian inflasi daerah.
Kemudian menjaga pasokan bahan pokok dan barang penting, melaksanakan pencanangan gerakan menanam, melaksanakan operasi pasar murah bersama dinas terkait serta sejumlah langkah lainnya.(ris)