Mataram (Suara NTB) – Mutiara Lombok adalah salah satu komoditi di NTB yang sudah menembus pasar global, yang mana pusat produksinya di Kecamatan Sekarbela. Wilayah Sekarbela merupakan tempat berkumpulnya para pengrajin dan pengusaha mutiara yang memasarkan beragam produk mutiara, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan mancanegara khususnya.
Salah satu pengrajin mutiara Sekarbela, Fauzi S.E., pemilik Toko Emas dan Mutiara Lombok telah menekuni usaha mutiaranya sejak 24 tahun lalu. Dalam membangun usahanya, ia mengakui mendapatkan banyak hambatan yang pernah dialami, antara lain gempa bumi pada 2018 dan Pandemi Covid-19 yang berimbas ke sektor pariwisata dan jumlah kunjungan wisatawan, serta berdampak pada produksi mutiaranya.
“Kalau hambatan sebenarnya namanya usaha itu lumrah, terutama kita kan masalah pasar aja. Pasar waktu awal-awal mulai usaha grafiknya nanjak terus. Nah ketemu gempa, covid, stagnan lagi,” ungkapnya.
Saat ini, kerajinan mutiara yang ia produksi sudah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) pada awal tahun 2023. Ia mengungkapkan, sertifikat IG tersebut tidak didapati oleh semua daerah karena harus memenuhi beberapa ketentuan dan berbagai pertimbangan. Baik dari sisi komunitas dan asosiasi pengusaha mutiara.
“Kita ada asosiasinya, ada masyarakat perlindungan indikasi geografis yang sudah dibentuk dan itu menjadi acuan untuk kita mengajukan sertifikat seperti itu,” ungkapnya.
Toko Emas dan Mutiara lombok sendiri tergabung di asosiasi tingkat pusat pada Asosiasi Budaya Mutiara Indonesia (Asbumi), dan Persatuan Pedagang dan Pengrajin Mutiara Lombok NTB (Pearl NTB).
Ia menjelaskan, pengajuan sertifikat IG produk mutiaranya ditempuh melalui komunitas Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG). Yang mana dalam asosiasi tersebut terdapat 125 anggota yang mendaftarkan diri dan lolos sertifikat IG. Sehingga para pengusaha dan pengrajin mutiara tersebut dapat menggunakan label IG dalam produknya dan dapat dipertanggung jawabkan bahwa mutiara yang dipasarkan adalah asli Pulau Lombok.
Untuk mendapatkan sertifikat tersebut bukanlah hal mudah, melainkan banyak hal yang harus diteliti oleh beberapa pihak, baik dari akademisi lokal maupun internasional dalam meninjau mutiara yang dihasilkan di NTB.
“Jadi daerah lain tidak bisa mengklaim karena kita di NTB lebih dulu mendapatkan sertifikat IG,” ujar Fauzi.
Untuk menjaga kualitas mutiara yang diproduksi, baik dari tingkat kemulusan, bentuk, warna dan kilaunya harus melewati proses grading atau klasifikasi kelas-kelas mutiara. Untuk menentukan harga pasar, ia lebih dulu menentukan kualitas mutiara termasuk dalam klasifikasi mana saja. Ia mengakui bahwa, dalam menentukan harga terdapat beberapa perbedaan setiap tahunnya, tergantung kualitas mutiara yang diproduksi.
“Untuk akhir-akhir ini termasuk terbilang mutiara lagi naik, bukan ditentukan karena harga emas. Memang hukum pasar ketika permintaan barang itu banyak, sementara hasil panenya limit maka harga barang juga akan naik,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, mutiara yang dihasilkan di Indonesia ada dua warna, yaitu dari jenis kerang pinctada maxima yang menghasilkan warna putih dan kuning. Jenis tersebut secara umum dihasilkan di Indonesia, bukan hanya di Lombok. Kedua jenis mutiara tersebutlah yang mendapatkan sertifikat IG.
Sedangkan mutiara air tawar merupakan impor dari Cina, namun diperdagangkan juga di Indonesia khususnya Lombok karena mengikuti selera pasar. Kemudian terdapat juga jenis mutiara yang lain, seperti mutiara hitam (Tahitian pearl atau black pearl) yang merupakan impor dari luar, yaitu bersumber di Tahiti yang mana pasar globalnya berada di Hongkong dan masuk juga di Lombok, khususnya di Sekarbela.
“Jadi apapun selera pasar atau konsumen kita coba untuk pasarkan,” ungkapnya.
Fauzi menambahkan, tingkat pemasaran mutiara asli Pulau Lombok sudah mencapai tingkat global. Mutiara yang masih berbentuk butiran-butiran utuh mutiara, pasar terbesarnya sudah menembus luar negeri antara lain Cina, India, Jepang dan beberapa negara-negara di Eropa. Ia mengakui, di Indonesia lebih banyak memasarkan mutiara dalam bentuk perhiasan dan kerajinan, meskipun ada dalam bentuk butiran mutiara, namun skala pasarnya tidak sebesar di luar negeri.
Akhir-akhir ini ia menyadari dampak dari sertifikat IG yang diperoleh adalah jumlah wisatawan mancanegera yang berburu mutiara ke Sekarbela semakin meningkat, contohnya Cina. Ia mengakui sempat memiliki kontak dagang dengan beberapa perusahaan dan warga negara Cina yang datang ke Indonesia khususnya di Pulau Lombok. Satu bulan terakhir, terdapat ratusan wisatawan yang berkunjung dengan membawa keluarganya datang ke sumber produksi mutiara di Sekarbela.
“Disini mereka tidak hanya nyari di toko, tapi ke teman-tema pengepul mutiara yang di rumah-rumah,” kata Fauzi.
Dengan semakin bertambahnya wisatawan yang tertarik dengan produk mutiara, ia berharap pengusaha mutiara menjelaskan kepada wisatawan mengenai apa saja yang harus dilengkapi ketika mereka belanja mutiara. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya pencegahan di bagian imigrasi karena wisatawan yang membeli mutiara tidak memenuhi persyaratan yang seharusnya. Menurutnya, apabila hal tersebut terjadi berulang kali, akan berdampak pada citra pariwisata dan UMKM itu sendiri.
“Kan lumayan besaran PAD yang disumbang ketika ada proses ekspor, dan itu memang tujuan pemerintah. Jangan sampai kita sudah dibina oleh pemerintah, dipromosikan kemana-mana dan meryka datang kesini sekaligus belanja mutiara, ternyata kapok gara-gara dicegah di bagian imigrasi itu,” pungkasnya. (ulf)