Mataram (Suara NTB) – Kasus perundungan masih kerap ditemukan di lingkungan sekolah. Meski telah dibentuk satuan tugas untuk menangani perundungan ini, tapi masih ada celah sehingga masih ditemukan kasus perundungan antar siswa.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) provinsi NTB, Dr. H. Aidy Furqan, M.Pd membenarkan hal tersebut, yang mana biasanya para pelaku perundungan melakukan bullying saat jam-jam tidak terpantau oleh satgas, misalnya pada saat istirahat dan pulang sekolah.
“Kalau dalam jam Pelajaran ndak ada, pada jam belajar mereka dalam kelas, di jam istirahat, di jam pulang, itu yang sering terjadi,” ujarnya.
Untuk menekan jumlah kasus bullying antar siswa, Aidy bahkan meminta satgas untuk piket di waktu rawan terjadinya bullying, juga meminta untuk memastikan tidak ada celah bagi siswa untuk melakukan bullying.
“Saya minta piketnya jangan piket belajar, tapi pada saat anak-anak istirahat. Itu kita lihat bagaimana, misalnya kaca dari sekolah tidak boleh ditutup, kita khawatir disitu ada sesuatu (bullying, red),” lanjutnya.
Ia juga mendorong setiap sekolah agar dapat menjadi Sekolah Ramah Anak (SRA), yang mana setiap sekolah tidak hanya berstatus sebagai SRA, tetapi pelaksanaannya juga mengikuti mekanisme SRA tersebut.
“Dorongan untuk sekolah, secara bertahapm, kalau SRA jangan sekedar identitas statusnya, tapi iklimnya yang harus ada, bahwa teman-teman secara tidak langsung sudah siap melaksanakan Sekolah Ramah Anak,” jelasnya.
Saat ini, terdapat 778 SMA dan SMK yang tersebar di wilayah NTB, 150 merupakan SMA negeri, 100 SMK negeri, 21 SLB, dan sisanya merupakan swasta. Aidy mengatakan jarang terjadi kasus perundungan di lingkungan sekolah negeri, namun, perlu pengkawalan ekstra untuk sekolah swasta karena kerap terjadi perundungan di lingkungan ini. (era)