Giri Menang (Suara NTB) – Sekitar 50 persen pedagang di Pasar Seni Sengigigi Kecamatan Batulayar Lombok Barat mati suri alias tidak aktif lagi. Lantaran sepinya pengunjung, menyebabkan banyak diantara mereka yang tidak mampu menyetor sewa.
Karena itu dengan adanya penataan Pasar Seni tersebut diharapkan bisa menghidupkan kawasan pasar yang telah dibangun tersebut. Koordinator Pedagang Pasar Seni Senggigi, Supratman Samsi menyebut,dari 74 pedagang yaang awalnya berjualan di Pasar Seni Senggigi, kini tersisa tinggal 50 persennya saja yang aktif. “50 persen pedagang tidak aktif, karena kondisi,”kata dia kemarin. Mereka berharap, penataan Pasar Seni saat ini bisa disesuaikan dengan karakteristik para wisatawan yang berkunjung ke sana.
Dimana karakter wisatawan ke kawasan itu, ingin melihat, belanja dulu. “Kalau setelah mereka sunsetan, makan, baru balik belanja,” tuturnya. Sehingga pihaknya berharap kepada pengelola Pasar Seni ke depannya bisa mengatur alur keluar dan masuk wisatawan. Agar penataannya lebih baik, sehingga keberadaan restoran, serta pedagang kuliner tradisonal dan pengusaha art shop di sana bisa sama-sama merasakan dampak positifnya.
Terlebih dalam master plan pembenahan Pasar Seni itu, nantinya di sana akan dibuatkan ampitheater sebagai ruang untuk atraksi hiburan ke depan. “Kami juga berharap dibantu promosi, karena kita sekarang sedang dibangunkan ampitheater di sini. Itu jangan hanya dibangun dan ditinggal, tetapi dilanjutkan dengan atraksi-atraksi di sini yang kita harapkan,” ungkapnya.
Agar kunjungan ke Pasar Seni itu bisa kembali ramai, pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan para travel agent. Agar mereka juga bisa mengarahkan wisatawan, untuk berkunjung ke sana setelah mereka berlibur dari gili. Dengan harapan, agar Pasar Seni yang ada di jantung wisata Senggigi itu bisa hidup kembali. Terlebih setelah mati suri akibat gempa bumi pada 2018 silam. Kemudian diperpuruk dengan Covid-19, yang membuat banyak pedagang di sana gulung tikar.
Kondisi ini disebabkan karena sepinya kunjungan ke Pasar Seni Senggigi, dan para pedagang banyak yang tak mampu membayar sewa lapak. Karena besaran biaya sewa itu disesuaikan dengan luas bangunan lapak yang mereka tempati. Ada yang mesti membayar dengan kisaran Rp15 – Rp27 juta pertahun.”Jadi penataannya harus tepat, supaya pedagang (art shop) hidup, restoran juga hidup. Jadi ada keberlanjutannya,’’ harapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fauzan, salah seorang pedagang yang sudah 24 tahun berjualan di Pasar Seni Senggigi itu. Dia dan para pedagang lainnya berharap, penataan Pasar Seni itu bisa segera rampung. Agar dampaknya bisa segera dirasakan para pedagang.”Saya jualan di sini dari tahun 2000, dari dulu sampai sekarang saya jualan handy craft,” tuturnya.
Kendati posisi lapaknya berada agak pinggir dan dirinya sudah merasakan dampak gempa, hingga Covid-19. Namun, diakuinya setiap hari tetap ada pembeli, walau tidak serame dulu, saat sebelum gempa.”Mereka sudah tahu Pasar Seni ini, jadi tetap ada yang datang (belanja, Red). Tapi kalau standar pendapatan sehari, gak bisa kita sebutkan karena gak menentu,” bebernya.
Karena diakui, terkadang dalam satu hari juga tak ada satu pun pembeli. Namun, kadang juga banyak yang singgah dan membeli dagangannya. Sehingga Fauzan juga berharap, dengan dibenahinya Pasar Seni itu ke depan, Pemerintah bisa membantu untuk pengadaan atraksi seni dan budaya. Hingga promosi yang lebih optimal dari yang sebelumnya.”Yang tidak boleh dipisahkan sebenarnya art shop dengan restoran, tidak boleh berjarak. Jadi kami harapkan penataannya bisa disesuaikan,” tutupnya.(her)