Giri Menang (Suara NTB) – Pengerjaan Proyek Pembangunan Pasar Seni Senggigi Kecamatan Batulayar, Lombok Barat (Lobar), terhambat satu orang pengelola usaha yang menolak dibongkar bangunannya, lantaran mengklaim telah memegang HGB (Hak Guna Bangunan) yang sudah diperpanjang.
Sementara pelaku UMKM yang lain hampir semuanya telah setuju dibongkar bangunan milik pemerintah tersebut. Mereka juga mendukung penataan kawasan itu agar lebih tertata sehingga diharapkan pengunjung lebih ramai.
Guna mendapatkan informasi dan mencari solusi atas persoalan ini, kalangan Komisi II DPRD NTB turun Inspeksi Mendadak (Sidak) ke lokasi proyek. Dewan mengumpulkan para pedagang dan pihak terkait yang berkaitan dengan proyek tersebut.
Diskusi berlangsung antara DPRD dan para pelaku usaha dan OPD yang hadir. Sayangnya dari pihak pelaku usaha yang menolak dibongkar tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Koordinator pedagang UMKM Pasar Seni Sengigigi, Supratman Samsi mengatakan, saat ini ada 74 pedagang yang berjualan di pasar seni tersebut. Masing-masing pedagang ada memiliki karyawan yang dipekerjakan. “Pasar seni ini adalah ladang usaha untuk kami mencari rizki dan kami di sini sudah lama, ada yang 20 tahun, ada juga 30 tahun. Jadi sudah lama sekali,” ujarnya.
Selama berjualan di pasar seni ada dua sistem yang dipergunakan, yakni HGB di atas HPL (Hak Pengelolaan Lahan), kemudian kontrak. Semua item ini, baik HGB maupun kontrak, para pedagang dengan perusahaan PT Rajawali. HGB di atas HPL diperoleh pedagang dari PT Rajawali, kemudian PT Rajawali yang berkontrak dengan Pemda selama 30 tahun. Dan HGB sudah berakhir per tanggal 16 Agustus 2024. Sehingga proyek penataan pun dilaksanakan.
Menurutnya, pihak pedagang sendiri pada prinsipnya mendukung penataan pasar seni itu, sebab sudah lama sekali kawasan itu mati suri. “Jadi kita begitu mendengar ada penataan, ayo kita benahi,” jelasnya. Namun ternyata di tengah jalan, ada pedagang yang memperpanjang HGB.
“Ada dua orang yang Informasinya memperpanjang HGB,” ujarnya. Ia sendiri pemegang HGB, ketika mau perpanjang HGB, ia konsultasikan dulu dengan sejumlah pihak. Dimana kontrak yang dianut Pemda dengan PT Rajawali, dimana perusahaan itu sewa lahan ke Pemda, boleh untuk mengelola setelah mengelola lalu dibangun. Setelah itu dioperasikan, kemudian kalau selesai kontraknya dengan Pemda, dikembalikan ke Pemda.
“Jadi perusahaan tidak perpanjang, dasar itu saya selaku pemilik HGB tidak perpanjang, kecuali kalau ada rekomendasi dari Pemda, saya berani,” ujarnya. Diakui, ada dua pengusaha yang memperpanjang. Ada yang memiliki satu HGB dan Tiga HGB satu perusahaan yang diperpanjang. Dari tiga HGB, dua bangunan terdampak proyek satu lagi tidak terdampak. Satu HGB rata-rata memiliki luasan 50 are. Mereka ini tidak mau bangunan dibongkar.
Solusi pun sudah diupayakan, di mana pengusaha relokasi sementara waktu ke bangunan yang tak terkena proyek, namun pelaku usaha ini tidak mau. Begitu pula opsi-opsi lain juga belum disetujui. Alasannya menolak karena merasa masih memiliki sertifikat HGB yang baru diperpanjang. Pihak Dispar sendiri telah melakukan mediasi dengan cara persuasif dan humanis.
Sementara itu, anggota DPRD NTB Abdul Hadi mengatakan, pengelolaan aset ini dikerjasamakan Pemprov dengan PT Rajawali, namun kontraknya sudah selesai (tidak diperpanjang). Sehingga perlu diperjelas sistem pengelolaannya agar pengembangan pengelolaan aset ini lebih maksimal kedepan.
Salah satu kendala yang harus diselesaikan kaitan dengan adanya HGB yang menurut Informasi diperpanjang, namun belum jelas pihak yang memperpanjang. “Perlu kita duduk bareng untuk selesaikan, barulah dilanjutkan,” imbuhnya. Karena kendala pengerjaan proyek tersebut, satu orang pelaku usaha tidak mau dibongkar bangunannya. Pihak dewan pun akan membahas solusi untuk penyelesaian masalah ini. (her)