spot_img
Kamis, November 21, 2024
spot_img
BerandaBlogCatatan Dr. Aka, Mengunjungi Pesanggrahan Bung Karno Saat Pengasingan Sang Proklamator di...

Catatan Dr. Aka, Mengunjungi Pesanggrahan Bung Karno Saat Pengasingan Sang Proklamator di Parapat

Di sela kehadiran kami di Arena PON XXI 2024 Medan Sumatera Utara, kami berkesempatan dengan waktu yang ada untuk berkunjung ke Pesanggrahan Bung Karno di Parapat pada Kamis, 19 September 2024. Dari Medan kami menuju Berastagi menyusuri keindahan alam pada ruas Jalan Jamin Ginting, yang mengantarkan kami pada tujuan di Parapat Sumatera Utara.

Saat kami sampai pada sebuah bangunan yang nampak indah dengan halaman depan yang semakin indah dengan pemandangan Danau Toba, kami menunggu Zamzami, seorang petugas yang menjadi penjaga Mess sekaligus merawat Pesanggrahan Bung Karno, yang tugasnya menjaga dan merawat rumah bergaya Eropa yang dibangun tahun 1820 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pria berdarah Minang yang akrab disapa dengan nama Pak Izam itu mengajak kami masuk Pesanggrahan. Begitu masuk di Pesanggrahan, Pak Izam mengawali penuturannya. Dia menyebut, tiga tokoh bangsa, Soekarno, KH Agus Salim dan Sutan Sjahrir diasingkan bersama di Pesanggrahan tersebut.

Sebulan sebelum pengasingan di Parapat, Soekarno diberangkatkan dari Bandara Maguwo di Yogja tanggal 22 Desember 1948 usai Agresi Militer Belanda ke II. Sang Proklamator diberangkatkan menuju Sumatera Utara, tepatnya ke Bandara Polonia dan dibawa ke Berastagi di Bukit Kubu selama 12 hari.

“Setelah menyampaikan tujuannya untuk memutuskan komunikasi antara Soekarno dan para pemimpin lain dan tujuan kedua agar Soekarno menggagalkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 27 Desember, Soekarno disodorkan selembar surat, dibaca bersama Agus Salim dan Sutan Syahrir. Disana Soekarno menegaskan tidak akan pernah menandatangani,” tutur Pak Izam.

Karena tidak mau menandatangani, Soekarno dibujuk akan diberi hadiah satu peti uang golden dan satu peti pakaian mewah. Tapi Soekarno tetap dengan pendiriannya. Belanda tak menyerah dan kembali menyatakan akan memberikan apapun permintaan Soekarno.

“Dan kembali Soekarno memberikan jawaban yang luar biasa yang tidak disangka oleh pemimpin tentara Belanda, Soekarno mengatakan, tunggu dulu saya tanya sama anak saya, kalau anak saya mau menandatangani surat ini, baru nanti saya tandatangani, disitu timbul pertanyaan Belanda siapa anaknya? Soekarno menjawab anak saya dari Sabang sampai Merauke,” tutur Pak Izam.

Karena Soekarno tidak mau menandatangani, timbullah niat tentara Belanda untuk meracuni Soekarno. Itu dilakukan keesokan harinya pada 29 Desember 1948 pagi. Seorang pelayan di pengasingan di Bukit Kubu bernama Karno Subiran diberikan satu botol kecil berisi cairan. Ia diminta mencampurkan cairan itu ke makanan Soekarno, dengan alasan vitamin untuk mereka bertiga.

Beruntung Subiran tidak percaya. Ia lalu mencampurnya dengan roti atau makanan yang biasa dimakan Soekarno. Semenit kemudian roti itu berubah warna menjadi hitam.

“Melihat hal tersbut Subiran melawan, katanya, ‘gila kau, masa pemimpinmu sendiri mau kau racuni’. Racun itu dibuang Subiran. Tentara Belanda tahu, dan karena Subiran membuang racun itu, dia pun jadi sasaran, dipukul, diseret dan dijadikan tahanan rumah di daerah Berastagi dan ingin dieksekusi oleh tentara Belanda, tapi dengan lantang Subiran  menjawab siap mati demi pemimpin bangsa, dan disitulah Belanda mundur,” cerita Pak Izam.

Tak ada pilihan, tentara Belanda akhirnya menjebloskan Subiran ke dalam Penjara. Dan sejak pagi sampai sore hari, Soekarno tidak berjumpa dengan Karno Subiran. Ia pun mempertanyakan keberadaaan Subiran dan akhirnya mengetahui bahwa dia di dalam penjara. Soekarno marah dan meminta tentara Belanda mengeluarkan Subiran.

“Subiran dikeluarkan malam setelah salat Isya, lalu mereka bertemu berempat. Soekarno bertanya kepada Subiran mengapa dimasukkan ke penjara, Subiran menjawab karena ia menolak permintaan tentara belanda untuk meracuni Soekarno. Dan disitulah Soekarno bertanya, mengapa kamu tolak, Subiran menjawab karena bapak adalah pemimpin saya. Disitu mereka menangis, dan Soekarno memeluk Subiran,” cerita Pak Izam.

Pak Izam melanjutkan ceritanya, usai pembicaraan itu, Soekarno pun menyampaikan amanah kepada Subiran. Agar jika mereka bertiga meninggal di tanah Karo, amanah itu disampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia.

“Amanah itu, yakni agar menjalankan perintah dan amanah Allah, agar jangan mengambil hak orang lain, Kalau itu bukan milik kita sendiri. Karena kemerdekaan bangsa Indonesia itu bukan karena harta, tapi karena berkat rahmat dan hidayah Allah dan itu sudah dicantumkan dalam UUD 1945,” ujarnya.

“Dari kejujuran Subiran inilah, Soekarno bisa berkomunikasi kembali kepada gerilyawan dan TNI,” lanjut Pak Izam.

Dari sana, disusunlah rencana oleh para gerilyawan dan TNI untuk merebut Soekarno pada Januari 1949, tapi rencana itu diketahui tentara Belanda, Soekarno pun dibawa pindah ke Parapat pada 4 Januari 1949.

“Dan di rumah inilah Soekarno ditempatkan selama 2 bulan bersama kedua tokoh. Selama dua bulan aktifitas Soekarno, Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim dikawal ketat oleh tentara Belanda, tetapi setelah satu bulan, disitulah baru bisa berkomunikasi dengan gerilyawan Indonesia dengan tiga orang pelayan,” kata Pak Izam.

Tulang Ayam dan Sayur Kangkung Menjadi Media Berkomunikasi

Tiga pelayan yang dipekerjakan di rumah di mana Soekarno, Sutan Sjahrir dan KH Agus Salim diasingkan di Parapat, yakni Luddin Tindaon, Bukka Sinaga dan Hayat. Luddin Tindaon bertugas di dalam rumah, di luar rumah ada Bukka Sinaga dan Hayat sebagai juru masak.

Pak Izam lanjut bercerita kepada kami, bahwa dari ketiga orang pekerja itulah Soekarno akhirnya berhasil berkomunikasi dengan para gerilyawan. Media yang digunakan Soekarno, dengan memanfaatkan makanan yang ada, yakni tulang ayam dan sayur kangkung.

Dikisahkannya, setiap kali makan, Soekarno meminta agar Luddin Tindaon membawakannya daging paha ayam. Selesai makan, sisa tulang ayam itu dibersihkan dan dikeringkan. Di tulang tersebutlah, Soekarno menyisipkan surat untuk dibawa kepada para gerilyawan.

Begitu juga ketika Soekarno jalan-jalan di luar rumah, Ia meminta agar dibawakan sayur kangkung. Dari batang kangkung tersebutlah Soekarno menyisipkan surat untuk para pejuang.

“Dan disampaikan ke Bukka Sinaga, bahwa dari batang kangkung itu ada isinya surat. Itulah cara beliau berkomunikasi dengan gerilyawan di sini,” cerita Pak Izam.

Hasil dari komunikasi antara Soekarno dengan para pejuang dari surat pada tulang ayam dan sayur kangkung itulah, akhirnya diutuslah pasukan Siliwangi untuk merebut Soekarno dan kedua tokoh bangsa pada Maret 1949.  Pasukan pun mengepung Parapat baik dari darat dan danau. Namun rencana penyerangan pun dibatalkan oleh Sutan Sjahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Pembatalan, menyusul rencana pemindahan Soekarno ke Bangka.

“Kata Sutan Sjahrir, jangan bergerak dulu, karena kami mau dibawa pindah ke Bangka, akhirnya Soekarno dan kedua tokoh dibawa pindah, dan disitulah dipertemukan dengan Bung Hatta di Bunto. Beberapa bulan disana, barulah terjadi Konferensi Meja Bundar di Denhag. Dari Indonesia diutus Bung Hatta dan dari Belanda Ratu Belanda, barulah di situ Belanda mengakui kedaulatan Indonesia,” tuturnya, walaupun sebelumnya Belanda tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia setelah beberapa negara seperti Mesir, India, Suriah, Vatikan, Irak, Lebanon, Afghanistan, Yaman dan Palestina sudah mengakui Kemerdekaan Indonesia.

Akhir cerita Pak Izam membuat kami larut dalam suasana haru sambil mengamati suasana bangunan tua yang dibangun tahun 1820 dengan gaya arsitektur Eropa dengan gaya rumah panggung dan bahan kayu jati dan kayu ulin.(r)

IKLAN

spot_img
RELATED ARTICLES
- Advertisment -



VIDEO