Mataram (Suara NTB) –Â Debat perdana Pilkada NTB 2024 yang diikuti oleh tiga pasangan Cagub-cawagub telah digelar pada Rabu, 23 Oktober 2024. Ketiga paslon telah menyampaikan visi-misi dan beradu gagasan dalam debat tersebut yang difasilitasi oleh KPU Provinsi NTB.
Namun demikian debat perdana Pilkada NTB tersebut dinilai berlangsung normatif dan konseptual. Hal itu diungkapkan oleh pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Ihsan Hamid. Hal tersebut diakibatkan lantaran singkatnya waktu yang diberikan dalam menerangjelaskan visi-misi dan gagasan kepada paslon.
“Secara umum saya melihat dari teknis debat saya kira memang durasi waktunya terlalu singkat. Hampir tidak ada waktu paslon mengelaborasi visi-misi secara menyeluruh. Itu yang membuat paslon tampak terburu-buru dan tampak tertekan,” kata Ihsan pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Ihsan menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam debat berikutnya memberikan kesempatan waktu yang lebih luas kepada paslon untuk menyampaikan gagasan. “Masukan ke KPU, kita berharap durasi waktu yang diberikan lebih panjang. Sebab memang masih banyak publik yang belum menentukan pilihan dan menjadikan debat sebagai referensi untuk memilih,” ujarnya.
Dari sisi performa paslon, Ihsan memandang ketiga paslon baik cagub-cawagub telah berupaya menampilkan pertunjukan debat yang menarik. Ketiga paslon berupaya menujukkan kemampuan dirinya masing-masing. Kendati demikian, Ihsan melihat ketiga paslon masih bicara pada tataran konseptual.
“Kita lihat dari bahasa verbal maupun non verbal termasuk narasi, rasa-rasanya memang di atas standar semua. Semua punya penampilkan cukup bagus. Tapi saya merasa debat semalam terlampau konseptual. Karena secara keseluruhan mereka menyampaikan terlampau normatif. Belum ada gagasan monumental, kolosal yang disampaikan oleh paslon,” jelasnya.
“Saya menunggu betul paslon bisa tampil memukau dengan ide brilian, tetapi itu belum keluar. Kita harap di debat ke depan ini bisa muncul,” bebernya.
Sepanjang debat, Ihsan melihat paslon nomor urut 3 Lalu Muhamad Iqbal-Indah Dhamayanti Putri berupaya mengambil posisi ofensif (menyerang) dua rival yang lain. Sebab, Iqbal-Dinda memang membawa narasi perubahan melawan dua petahana.
“Saya melihat masing-masing paslon punya peluru yang sudah mereka siapkan, pertanyaan pamungkas. Nomor 3 cenderung ofensif karena memang dia bukan petahana, sebut saja dengan isu utang dan zero waste, demoralisasi birokrasi,” jelasnya.
Ihsan menilai upaya menyerang dari paslon nomor 3 adalah hal yang wajar. Meski demikian, Ihsan melihat bahwa pertanyaan-pertanyaan ‘menjebak’ yang dilontarkan paslon nomor urut 3 masih bisa dijawab oleh paslon 1 (Sitti Rohmi Djalillah-Musyafirin) dan paslon 2 (Zulkieflimansyah-Suhaili).
“Selain utang, serangan kedua yang cukup menukik itu kan soal tata kelola birokrasi. Jawaban Cagub nomor urut 2 yang menyebut jadi gubernur tidak sama dengan dubes itu kan pesan. Sebetulnya pertanyaan ini bisa dicounter dengan melihat sisi pemerintahan di Kabupaten Bima yang notabene dipimpin oleh Cawagub nomor 3. Tetapi itu tidak muncul,” bebernya.
“Meritokrasi itu kan artinya the right man in the right place. Ini bisa jadi bumerang bagi paslon 3. Tapi memang Zul tampak tidak terpancing soal ini,” sambungnya. Paslon petahana yakni paslon nomor 1 dan 2, kata Ihsan menyadari betul bahwa mereka dulu satu paket, sehingga tidak ada saling serang secara psikologis, mereka lebih banyak setuju.
Lebih jauh, Ihsan menilai bahwa debat bukan soal menang kalah. Tetapi lebih kepada parade gagasan yang ditujukan untuk menarik persepsi publik agar tertarik untuk memilih paslon yang bersangkutan. Ihsan melihat, ketiga paslon tampak bermain pada sisi aman. “Akhirnya secara keseluruhan debat kemarin memang terlampau datar. Suasana saling ‘menguliti’ belum terasa. Secara keseluruhan saya akan dengan sangat terpaksa mengatakan bahwa debat terlampau konseptual,” pungkasnya. (ndi).Â