Mataram (Suara NTB) – Tantangan membangun pariwisata di NTB diakui masih cukup berat. Pelaku pariwisata hingga organisasi pariwisata masih mengeluhkan hospitality yang belum optimal diterapkan di objek wisata. Bahkan, ada pengelola desa wisata yang mempertontonkan hal yang tidak baik di hadapan wisatawan.
Kondisi ini diakui Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi NTB Sahlan M. Saleh kepada Suara NTB usai mengikuti rapat pelaksanaan “Ite Begawe Fest Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, Bangga Berwisata di Indonesia dan Penggunaan Produk Dalam Negeri” di Pendopo Timur, Kamis 31 oktober 2024.
Ketua Astindo ini mengakui, jika permasalahan hospitality ini selalu disuarakan semenjak sebelum jadi pengurus BPPD, termasuk saat berada pada kepengurusan BPPD. Menurutnya, jika pihaknya menemukan keluhan atau permasalahan pariwisata di lapangan, ia langsung berkoordinasi dengan pengelola objek wisata tersebut. Termasuk berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan organisasi perangkat daerah di pemerintah provinsi untuk mengatasinya.
Menurutnya, tata kelola pariwisata di NTB perlu ada pembenahan, terutama di sektor keamanan dan kenyamanan. Apalagi pemerintah daerah menyorot terkait masalah hospitality atau kenyamanan yang selama ini dikeluhkan wisatawan. “Pedagang asongan seolah -olah memaksa tamunya, sehingga perlu ditata kembali. Untuk itu, kita perlu berikan edukasi supaya tidak melakukan hal yang seperti itu,” ungkapnya.
Dalam mengatasi masalah ini, ujarnya, pemerintah harus menyiapkan lokasi di salah satu objek wisata yang bisa dijadikan lokasi berjualan pedagang asongan atau penjual suvenir. Setelah dilokalisasi, nantinya pemerintah atau asosiasi pariwisata mendatangkan pembeli.
Pihaknya yakin jika sudah ada penataan serius dan pemerintah mendengar masukan industri pariwisata, maka persoalan yang selama ini ada, secara perlahan permasalahan akan bisa diatasi. “BPPD juga serius terhadap permasalahan ini. Karena tamu-tamu kita juga yang akan terdampak. Selain itu tidak cukup dengan edukasi, tapi memberikan solusi bagaimana nafkah mereka tetap mengalir,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB Drs. H. Lalu Fatwir Uzali, M.Pd. Sebagai pihak yang terjun langsung, pramuwisata atau pemandu wisata memahami kondisi lapangan yang dipersoalkan wisatawan.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram ini mengakui, persoalan pariwisata yang terjadi di lapangan selalu ada setiap hari, terutama menyangkut hospitality atau kenyamanan wisatawan.
Sekretaris BPPD Provinsi NTB ini menyebut salah satu objek wisata di Lombok Tengah memiliki hospitality yang kurang terhadap wisatawan. Pengelola objek wisata ini dianggap belum menerapkan hospitality dengan baik, sehingga akan membuat wisatawan kapok datang ke lokasi itu. “Tidak hanya pada wisatawan, tapi juga pada kita (guide, red), driver dan lain sebagainya,” ujarnya.
Sebagai praktisi pariwisata, tambahnya, pihaknya memahami jika pengelola objek wisata dan masyarakat sekitar masih belum memahami penerapan hospitality yang baik, sehingga butuh edukasi dan pembinaan.
“Di situ ada pedagang, ada restoran, ada teman driver juga. Lalu ada tamu yang betul-betul merasa aman di sana. Karena Sapta Pesona yang pertama adalah aman, kemudian nyaman. Setelah nyaman baru senang-senang. Senang baru ada kata puas,” tambahnya.
Menurutnya, ketika pengelola objek wisata sudah tidak memberikan pelayanan yang memuaskan, maka akan timbul protes atau tindakan yang bisa memicu ketidaknyamanan.
Untuk itu, harapnya, dalam mengatasi masalah ini harus duduk bersama antara pengelola objek wisata dan juga pelaku pariwisata serta pemerintah daerah. Hal ini penting dilakukan agar dampak keberadaan objek wisata bagi warga sekitar sangat penting, terutama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Fatwir juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemkab Lombok Tengah terkait persoalan yang ada di objek wisata tersebut. Pihaknya ingin segera ada solusi dan tidak ada lagi pengelola wisata atau pemilik restoran yang berebutan pembeli. “Kenapa Yogya bisa? Kenapa Bali bisa? Kenapa NTB sekarang ini belum bisa?” tanyanya.
Menurutnya pola yang diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali bisa diterapkan di NTB dan membuat pelaku wisata dan pekerja -pekerja wisata merasa nyaman di lapangan. Hal ini diharapkan tidak ada lagi keluhan wisatawan saat berkunjung ke objek wisata di NTB, terutama terkait masalah hospitality. (ham)