Mataram (Suara NTB) – Sarana tempat tinggal atau rumah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Namun di Provinsi NTB masih terlihat problem perumahan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Misalnya backlog atau kekurangan rumah untuk rumah tangga masih tersisa sebanyak 306.035 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di NTB.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Provinsi NTB, Sadimin mengatakan, selain persoalan backlog, masalah rumah tidak layak huni (RTLH) juga menjadi atensi pemerintah daerah. Berbagai program sedang dijalankan untuk mengurangi angka backlog dan rumah tidak layak huni tersebut.
Ia mengatakan, jumlah kepala keluarga di NTB sebanyak 1.647.359 KK. Dari jumlah tersebut rumah layak huni untuk KK sebanyak 1.097.648 unit, sedangkan rumah tidak layak huni sebanyak 549.711 unit. Artinya persentase rumah layak huni untuk KK di Provinsi NTB baru sebanyak 67 persen.
“Kalau backlog kepemilikan itu masih 300 ribu sekian, namun backlog yang belum punya rumah untuk keluarga baru sebanyak 121 ribu unit. Ini merupakan angka terbaru hasil Regsosek BPS tahun 2022 kemarin,” kata Sadimin kepada Suara NTB akhir pekan kemarin.
Salah satu gebrakan pemerintah untuk mengurangi backlog perumahan di dalam negeri yaitu dengan upaya meningkatkan kuota fasilitas likuiditas pembiyaan perumahan (FLPP) menjadi 800 ribu unit rumah pada 2025 atau meningkat 580 ribu unit dari kuota tahun ini sebesar 200 ribu unit. Peningkatan kuota ini merupakan langkah untuk merealisasikan program 3 juta rumah yang menjadi program Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (KPK).
“Saat Pak Wakil Menteri Perumahan datang ke sini kemarin, rumah subsidi awalnya 200 ribu unit menjadi 800 ribu unit (secara nasional-red). Mudah-mudahan target tersebut bareng-bareng bisa tercapai,” katanya.
Pemerintah sendiri mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam rangka memberikan sejumlah kemudahan bagi masyarakat dan perusahaan dalam menyediakan perumahan untuk masyarakat. Salah satunya yaitu pembebasan pengenaan retrebusi Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) serta membebaskan retribusi PBG atau Persetujuan Bangunan Gedung yang dulu disebut dengan istilah IMB. Serta waktu pengeluarakan izin PBG yang awalnya maksimal 28 hari diperpendek menjadi 10 hari saja.
Dalam Kepmen PUPR No 22/2023 tentang Kreteria Penghasilan Masyarakat disebutkan bahwa kreteria masyarakat berpenghasilan rendah yaitu maksimal Rp7 juta untuk warga yang belum kawin dan kategori kawin maksimal sebesar Rp8 juta. Angka ini mencakup sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di wilayah NTB.
Artinya bagi masyarakat yang memiliki penghasilan maksimal 7 juta yang belum kawin dan 8 juta yang sudah kawin, mereka dibebaskan dari penarikan retribusi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dan retribusi PBG.(ris)