Mataram (Suara NTB) – Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Nusa Tenggara Barat, Hj. Baiq Diyah Ratu Ganefi, SH, memberikan kritik terhadap layanan imigrasi di Bandara Internasional Lombok. Kritik ini disampaikan setelah pengalaman pribadi saat kembali dari penerbangan internasional dari Malaysia, pada Senin, 6 Januari 2025.
Hj. Diyah menyoroti prosedur yang diterapkan terhadap penumpang internasional yang dinilai kurang ramah, terutama mengenai persyaratan pengisian dokumen yang harus dilaporkan melalui sistem untuk penumpang penerbangan luar negeri. Ia mendapati bahwa aturan tersebut tidak diterapkan secara konsisten. Menurutnya, ada penumpang yang tidak diperlakukan tegas meskipun tidak memiliki ponsel atau daya baterai yang cukup untuk melapor ke sistem menggunakan barcode yang disediakan. Di sisi lain, beberapa penumpang lainnya diperlakukan dengan sangat ketat terkait kewajiban ini.
“Penumpang yang mengaku tidak memiliki ponsel atau baterainya habis bisa lolos begitu saja. Namun, ada penumpang lain yang diperlakukan dengan sangat tegas. Jadi, siapa sebenarnya yang diminta untuk tertib? Semua penumpang atau hanya sebagian saja?” ujar Hj. Diyah.
Selain itu, Hj. Diyah juga mengkritik sikap petugas imigrasi di bandara yang dinilai kurang ramah. Ia menyebutkan bahwa penumpang internasional harus melalui tiga tahapan pemeriksaan hingga pengambilan bagasi, yang memakan waktu hingga 1,5 jam. Menurutnya, proses ini sangat tidak nyaman.
“Kami baru tiba dan harus menunggu di eskalator menuju pintu keluar. Petugas imigrasi dengan lantang menginstruksikan kami untuk tetap berada di sana tanpa ada sikap ramah, padahal kami baru tiba dari luar negeri. Baik wisatawan maupun pekerja migran seharusnya dilayani dengan standar yang baik. Sebagai daerah wisata, kesan pertama itu sangat penting,” tegasnya.
Hj. Diyah juga menambahkan bahwa penumpang yang ditahan di eskalator menyebabkan penumpukan. Ia menyarankan agar bandara menyediakan ruang khusus yang lebih representatif untuk penumpang internasional agar bisa mengurus dokumen setelah penerbangan panjang.
“Setelah terbang berjam-jam, penumpang merasa lelah, namun harus menghadapi pelayanan yang tidak ramah. Jika kondisi ini terus berlanjut, bagaimana kita bisa menarik wisatawan dalam jumlah besar? Bandara kita harus menjadi bandara yang ramah, baik dari segi fasilitas maupun layanan petugasnya,” harapnya.
Menurut Hj. Diyah, bandara di Lombok perlu memberikan kesan positif kepada wisatawan internasional, mengingat Lombok merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia. Ia berharap pihak pengelola bandara dan pemerintah daerah segera memperbaiki layanan untuk menciptakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi penumpang internasional.
Dengan masukan ini, diharapkan Bandara Lombok dapat menjadi pintu masuk yang mencerminkan keramahan dan profesionalisme Indonesia sebagai negara tujuan wisata.
Terkait hal ini, Manajer Humas PT Angkasa Pura I Cabang Bandara Lombok, Arif Haryanto, menjelaskan bahwa meskipun secara kepemilikan bandara berada di bawah Angkasa Pura, terdapat banyak stakeholder yang terlibat dengan peran masing-masing, seperti Bea Cukai (di bawah Kemenkeu), Imigrasi (di bawah Kemenkumham), serta Karantina Kesehatan (di bawah Kemenkes), Karantina Pertanian (Kementan), dan Karantina Perikanan (KKP).
“Untuk layanan Imigrasi, lebih tepatnya bisa menghubungi pihak Kantor Imigrasi Mataram,” katanya.
Mengenai usulan ruang khusus yang lebih representatif, Arif menyebutkan bahwa ruang di bandara sebenarnya sudah cukup luas, namun pada waktu tertentu, terutama saat penumpang ramai, bisa terjadi penumpukan.
“Perlu dicatat bahwa penerbangan internasional di Bandara Lombok saat ini masih terbatas, dengan hanya ada rute ke Kuala Lumpur (Malaysia) dan Singapura,” tandasnya. (bul)