Mataram (Suara NTB) – Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) NTB, Brigjen Pol Marjuki mencatat prevalensi penyalahgunaan narkoba di daerah ini cukup mengkhawatirkan.
Berdasarkan data yang disampaikan setelah rapat paripurna, prevalensi penyalahgunaan narkoba di NTB mencapai 1,73 persen, hampir setara dengan angka nasional. Dengan populasi sekitar 5,6 juta jiwa, 64.623 penduduk NTB diperkirakan pernah menggunakan narkoba.
“Penduduk yang berumur 15-64 tahun berjumlah 3,7 juta. Sehingga bila prevelensinya 1,73 persen, artinya sebanyak 64.623 jiwa penduduk kita pernah menggunakan narkoba,” ujarnya.
Marjuki menegaskan, penyalahgunaan narkotika menjadi sangat penting untuk dituntaskan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN).
Penyalahgunaan narkotika menjadi salah satu bencana negara karena obat-obatan ini banyak menyerang generasi muda. Oleh karenanya, diharapkan adanya implementasi dari semua pihak. Termasuk pemerintah dan masyarakat untuk sama-sama memerangi penyahgunaan obat-obatan terlarang.
“Kami mengajak untuk merapatkan barisan guna mengimplementasikan Pilpres tentang rencana aksi pencegahan dan pemberantasan penggunaan peredaran narkotika. Kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan terutama kepada masyarakat dan juga pelajar yang merupakan calon pengisi Indonesia Emas 2045,” ungkapnya.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah pelaksanaan tes urine di lingkungan instansi pemerintah, baik daerah maupun vertikal. Seperti yang dilakukan oleh DPRD NTB yang melaksanakan tes urine setelah rapat paripurna, Senin, 20 Januari 2025.
“Sebagai langkah strategis, hari ini anggota DPRD NTB akan melaksanakan tes urin sebagai contoh nyata bahwa upaya pencegahan dimulai dari atas,” tambahnya.
Langkah ini dilakukan sebagai contoh di masyarakat bahwa pemerintah daerah juga terbebas dari narkoba. Diharapkan, tes yang dilakukan oleh DPRD NTB ini dapat menekan angka penyalahgunaan narkoba di NTB secara signifikan.
“Kami berharap sinergi antara BNN, pemerintah, dan seluruh stakeholder mampu menciptakan NTB yang bersih dari narkoba, sekaligus menjadi contoh bagi daerah lain,” pungkasnya.
Meski demikian, penuntasan penyalahgunaan obat-obatan terlarang di NTB mengalami sedikit kendala, terutama terkait sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas rehabilitasi. Hingga saat ini, Indonesia bagian timur, belum memiliki rumah rehabilitasi rawat inap untuk penyalahguna narkoba.
“Jika ada yang membutuhkan rehabilitasi rawat inap, kami terpaksa mengirim ke Lido, Bogor. Padahal, jika NTB memiliki fasilitas sendiri, setidaknya dapat menampung hingga 1.000 orang per tahun,” jelasnya.
Saat ini, program rehabilitasi rawat inap di NTB hanya mampu melayani 270 orang per tahun, sementara rehabilitasi rawat jalan mencapai 872 orang. Jumlah ini jauh dari memadai mengingat banyaknya pengguna yang membutuhkan bantuan. (era)