spot_img
Senin, Februari 3, 2025
spot_img
BerandaPENDIDIKANJadi Pertimbangan Seleksi Masuk PTN, Tes Kompetensi Akademik Pengganti UN Diharapkan Bisa...

Jadi Pertimbangan Seleksi Masuk PTN, Tes Kompetensi Akademik Pengganti UN Diharapkan Bisa Cegah Kecurangan

Mataram (Suara NTB) – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dikabarkan akan mengganti istilah ujian nasional dengan tes kompetensi akademik atau TKA. Rencana tes kompetensi akademik itu disambut baik sejumlah pihak, termasuk rencana sebagai bahan pertimbangan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). TKA diharapkan dapat mencegah kecurangan.

Praktisi pendidikan yang juga Ketua Umum Matematika Nusantara (MN), Moch. Fatkoer Rohman, S.Pd., M.Pd., pada akhir pekan lalu menyampaikan, ia sangat setuju TKA yang akan digelar November bagi siswa kelas XII itu sebagai bahan pertimbangan seleksi masuk PTN. Jika rencana itu benar dilaksanakan, maka rapor yang sebelumnya digunakan untuk pertimbangan masuk PTN kemungkinan akan diganti dengan TKA.

Ia setuju dengan rencana itu, karena ada dugaan nilai rapor yang sengaja didongkrak.

“Artinya selama ini pertimbangan masuk PTN menggunakan rapor akan diganti dengan nilai TKA. Saya sangat setuju, karena selama ini menggunakan rapor, sering kali nilai siswa jor-joran, tinggi-tinggin, ugal-ugalan, nilai rapor jarang yang di bawah 80. Rapor sekarang ini sudah tidak ada maknanya, karena sudah mengalami fluktuasi atau inflasi, nilai 90 ke atas sudah hal biasa,” ujarnya.

Di samping itu, Kepala SMAN 1 Kayangan ini menambahkan, fungsi TKA itu untuk pemetaan, bukan untuk kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Kalau dipakai sebagai kelulusan, maka a khawatir akan timbul kecurangan seperti dahulu.

Saya sangat mengapresiasi dua fungsi TKA tersebut, terutama masuk ke jenjang lebih tinggi. Namun, masih ada kemungkinan timbul kecurangan, apalagi karena akan dipakai untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Meski demikian, ia berharap tidak terjadi kecurangan.

Fatkoer menjelaskan, TKA hampir mirip dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang berlaku pada tahun 1980 sampai dengan 2002. Ebtanas juga bukan sebagai penentu kelulusan, hanya untuk pertimbangan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

“Kita belajar dari Ebtanas, walau dulu itu tanpa proses komputer bisa berjalan dengan baik, dengan integritas. Waktu itu, Ebtanas itu sama sekali kita tidak dengar ada kecurangan. Mestinya sekarang bisa belajar dari Ebtanas, apalagi saat ini pasti berbasis komputer, otomatis kecurangan bisa diminimalisasi,” harapnya.

Ia berharap berharap TKA dapat terwujud, sehingga bisa memenuhi standar yang jelas, serta bisa dipakai masuk ke PTN bagi lulusan SMA atau masuk SMA bagi lulusan SMP.

Sebelumnya, Sub Koordinator Kurikulum Bidang SMA Dinas Dikbud NTB, Purni Susanto, menyampaikan, pagi pihaknya di pemerintah daerah, menyambut positif perubahan nama tersebut. “Saya memandang bahwa istilah ‘Ujian’ memiliki konsekuensi bahwa proses penilaian keberhasilan siswa cenderung mengarah pada tes yang berorientasi hafalan (kognitif). Padahal kemampuan anak tidak bisa diukur hanya dengan tes hafalan dan soal-soal drill tadi,” ujar Purni.

Meski demikian, Purni menekankan, pihaknya akan sabar menunggu arahan pemerintah pusat. Menurutnya, ujian nasional selama ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini terlihat dari dinamika yang berkembang di tengah masyarakat antara yang pro dan kontra.

Pihak pro ujian nasional melihat sisi bahwa ujian nasional memiliki dampak psikologis pada siswa untuk lebih rajin belajar. Bila siswa tidak melalui tahapan ujian nasional, motivasi belajar siswa cenderung menurun.

Sementara pihak yang kontra menilai bahwa ujian nasional menjadi biang sengkarut dunia pendidikan. Purni merincikan, banyaknya praktik kecurangan, tim sukses ujian di sekolah sampai joki dan jual beli soal menjadi catatan merah pelaksanaan ujian nasional ini.

“Karenanya, bila ujian nasional (atau penggantinya) ini ke depan dilaksanakan akan sangat tepat bila orientasinya tidak hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, tetapi juga sisi keterampilan dan sikap siswa. Evaluasi pencapaian keberhasilan siswa tetap diperlukan namun tujuan, instrumen, dan mekanismenya perlu penataan ulang,” saran Purni.

Di samping itu, Purni menyarankan, tujuan ujian nasional perlu direvisi agar lebih humanis. Bila tetap menjadi alat ukur kelulusan maka akan cenderung terjadi kecurangan dalam pelaksanaannya.

“Artinya walaupun namanya berganti menjadi tes kompetensi akademik, bila tujuannya sama dengan ujian nasional, maka tidak akan ada perubahan signifikan,” pungkas Purni. (ron)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO