Mataram (Suara NTB) – Forum Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup (Fordas LH) Provinsi NTB membuat kajian terkait dengan kerentanan peristiwa banjir di wilayah Bima dan Dompu. Sebab jika musim hujan datang, Bima dan Dompu selalu mengalami banjir. Tak hanya terjadi saat hujan deras atau cuaca ekstrem, curah hujan dengan intensitas sedang saja, sudah bisa menyebabkan banjir besar di kawasan tersebut.
Ketua Fordas LH Provinsi NTB Prof.Dr Markum mengatakan, rentannya wilayah Bima dan Dompu mengalami banjir karena kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah rusak. Menurutnya, setidaknya ada tiga faktor penyebab utama, yaitu pertama daya dukung lingkungan sudah rendah. Kedua, perilaku destruktif masyarakat dalam mengelola lingkungan dan ketiga modalitas sosial rendah dalam mitigasi dan adaptasi bencana.
Guru Besar dalam bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Mataram (Unram) ini mengatakan, daya dukung lingkungan rendah terjadi karena tutupan hutan dan vegetasi rusak. Sebagian besar hutan sudah beralih menjadi lahan pertanian pangan. Dampaknya, kemampuan tanah menyerap air rendah, sehingga air dibuang melalui limpasan permukaan dan menyapu tanah menjadi erosi.
“Ceruk sungai dangkal akibat endapan batu dan tanah, sehingga daya tampung air sungai kecil, dan akan mudah meluap ke jalan dan pemukiman. Kemudian kondisi topografi bergelombang, memicu kecepatan air datang dan pergi. Banjir terjadi begitu tiba-tiba (bandang) dan kejadian banjir juga tidak lama, 5 – 8 jam, tetapi dampak banjir bisa sangat merugikan,“ kata Markum kepada Suara NTB, Kamis, 6 Februari 2025.
Menurut Markum, normalnya terjadi banjir jika terjadi curah hujan besar yaitu di atas 100 mm per hari. Namun faktanya dengan curah hujan 60 mm per hari saja sudah bisa memicu banjir besar di Bima dan Dompu, sehingga dampaknya terjadi kerusakan infrastruktur jembatan dan pemukiman.
Selanjutnya faktor perilaku destruktif mengelola lingkungan. Perilaku membuka lahan dengan membakar atau penggunaan herbisida berlebihan yang merusak biodiversitas tanaman dan populasi serangga. Kemudian melakukan penebangan pohon-pohon tegakan yang dianggap sebagai pengganggu tanaman pangan juga menjadi bagian dari perilaku destruktif yang membuat DAS menjadi rusak.
“ Perilaku destruktif lainnya dalam mengelola lingkungan lainnya seperti menanam tanaman di lahan miring ekstreem, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan serta sistem pengolahan tanah di lahan miring yang tidak menggunakan terasering,“ imbuhnya.
Faktor ketiga yaitu modalitas sosial dalam mitigasi dan adaptasi yang rendah. Di mana masyarakat cenderung berpikir bagaimana menghasilkan bukan bagaimana mengelola lahan yang baik. Pengetahuan tentang pentingnya lingkungan sudah baik, tetapi tidak konsisten diikuti dengan memelihara lingkungan yang baik.
“Keberadaan infrastruktur mitigasi bencana seperti dam penahan banjir, talut sungai, tidak sebanding tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Kemudian kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana lemah, karena kondisi miskin, dan kelembagaan yang tidak solid,” katanya.
Kajian dari Fordas LH NTB ini sama dengan temuan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB. DLHK NTB telah mengeluarkan peta analisis DAS bencana banjir, baik di Lombok maupun Pulau Sumbawa tahun 2024-2025. Ini merupakan peta yang menunjukkan daerah-daerah rawan banjir di suatu daerah aliran sungai yang perlu menjadi atensi bersama.
DAS yang dimasukkan dalam peta analisis ini meliputi DAS Selodong, DAS Sagena, DAS Mapin, DAS Sejorong, DAS Sumbawa, DAS Moyo, DAS Balambon, DAS Kawinda, DAS Tarei, DAS Campa, DAS Rontu, DAS Angi, DAS Soncona, DAS Labalaju dan DAS Pupu.
Di DAS Soncona Kabupaten Bima yang memiliki luas 2.682 hektare seluruhnya berada di luar kawasan hutan dengan tingkat kekritisan lahan 89 persen. Begitu juga di DAS Angi Kabupaten Bima dengan luas 2.778 hektare juga sebagian besar atau 66 persen berada di luar kawasan hutan dengan tingkat kekkritisan lahan 91 persen. Hanya 9 persen saja kawasan DAS Angi yang tak kritis.
Sementara itu DAS Rontu dengan luas 26.636 hektare terletak di kawasan hutan sebanyak 26 persen dan kawasan APL 74 persen. Tingkat kekritisan lahan di sini sebanyak 83 persen, dan hanya 17 persen yang dalam kondisi tak kritis.
Begitu juga DAS Campa Kabupaten Bima dengan luas 39.244 hektare yang lokasinya 44 persen berada di kawasan hutan dan APL 56 persen. Tingkat kekritisan lahan juga cukup tinggi yaitu sekitar 67 persen.(ris)