Mataram (Suara NTB) – Sikap politik internal Fraksi Partai Golkar di DPRD Provinsi NTB terbelah terkait usulan hak interpelasi. Perbedaan pandangan ini turut mempengaruhi perdebatan soal penggunaan hak interpelasi untuk mengawasi realisasi program dan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2024, yang hingga kini masih bergulir di gedung Wakil Rakyat Udayana.
Anggota Fraksi Partai Golkar, H. Didi Sumardi, yang dikonfirmasi terkait hal tersebut, menjelaskan bahwa dinamika pro kontra seputar usulan hak interpelasi adalah hal yang biasa terjadi. Menurutnya, perbedaan pandangan di internal DPRD adalah bagian dari proses pengambilan keputusan dalam lembaga politik.
“Saya menilai bahwa baik yang mendukung maupun yang menentang, termasuk beberapa fraksi dan pimpinan dewan, semangatnya tetap sama, yaitu memastikan pengawasan oleh DPRD berjalan efektif,” kata Didi Sumardi, dalam wawancaranya dengan Suara NTB pada Minggu, 9 Februari 2025.
Politisi Partai Golkar ini juga menegaskan bahwa dirinya tidak ingin terjebak dalam polemik apakah ia setuju atau tidak terhadap penggunaan hak interpelasi oleh DPRD NTB. Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan fungsi pengawasan lembaga legislatif berjalan dengan optimal dan efisien.
“Yang paling penting bagi saya adalah bagaimana memastikan fungsi pengawasan oleh DPRD ini dijalankan secara optimal. Bentuk pengawasannya yang masih menjadi perdebatan, dan itu lebih banyak menyangkut masalah teknis dan prosedural, belum sampai pada hal yang bersifat substantif,” jelasnya.
Didi juga menambahkan bahwa meskipun hak interpelasi adalah salah satu instrumen pengawasan, hal tersebut bukan satu-satunya cara untuk mendalami penggunaan DAK. Menurutnya, ada banyak instrumen pengawasan lain yang dapat digunakan oleh DPRD, seperti komisi, gabungan komisi, panitia khusus, angket, dan menyatakan pendapat.
“DPRD memiliki banyak instrumen pengawasan, bukan hanya hak interpelasi. Misalnya, komisi, gabungan komisi, panitia khusus, interpelasi, angket, menyatakan pendapat, dan lainnya. Sehingga, hak interpelasi bukan satu-satunya cara untuk melakukan pengawasan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Didi menjelaskan bahwa dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan tata tertib DPRD, hak interpelasi digunakan untuk mengawasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi masyarakat. Menurutnya, pengawasan terkait DAK lebih relevan dilakukan oleh komisi yang membidangi hal tersebut.
“Jika masalah DAK ini berkaitan dengan beberapa komisi, maka opsi yang lebih tepat adalah membentuk panitia khusus yang bertugas menindaklanjuti pengawasan terhadap DAK tersebut. Dengan cara ini, pengawasan DAK akan memiliki dasar dan relevansi yang lebih kuat,” terangnya.
Didi menambahkan bahwa komisi-komisi DPRD telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan OPD terkait dalam rangka pembahasan dokumen LKPJ 2024. Karena DAK tidak menjadi bagian dari materi LKPJ, disepakati akan dialokasikan waktu khusus untuk mendalami hal tersebut secara komprehensif.
“Saya melihat bahwa perhatian pimpinan DPRD adalah untuk memastikan bahwa tugas pokok dan fungsi pengawasan DPRD dapat berjalan secara optimal dan sesuai dengan prosedur yang benar,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar, Hamdan Kasim, yang merupakan salah satu dari 14 pengusul hak interpelasi, menegaskan pentingnya hak interpelasi sebagai sarana bertanya kepada gubernur terkait kebijakan strategis yang berdampak luas kepada masyarakat, termasuk soal DAK.
“Interpelasi ini hak bertanya. Kami hanya ingin bertanya kepada gubernur tentang kebijakan strategis yang berdampak luas pada masyarakat, seperti DAK. Jadi, interpelasi bukanlah hal yang menakutkan atau menyeramkan,” kata Hamdan.
Hingga saat ini, sudah ada lima fraksi yang tegas menolak hak interpelasi, yaitu Fraksi Gerindra, PPP, PKB, PKS, dan Fraksi Gabungan Amanat Bintang Nurani Rakyat (ABN). (ndi)