Mataram (Suara NTB) – Pemerintah berencana melakukan penataan ulang sistem pemilihan umum (Pemilu) dengan merevisi Undang-Undang Pemilu. Sebagai bagian dari proses tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, pegiat demokrasi, pakar, hingga DPR RI.
“Kenapa saya datang ke Unram hari ini? Karena pemerintah perlu banyak mendengar masukan dari berbagai kalangan, salah satunya dari kampus, agar proses pengkajian ini dapat mengakomodasi semua masukan dalam rangka perbaikan RUU Pemilu,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto kepada wartawan, usai menjadi keynote speaker pada seminar nasional mengenai urgensi revisi UU Pemilu di Universitas Mataram (Unram).
Mantan Wali Kota Bogor ini menjelaskan bahwa Presiden RI, Prabowo Subianto, secara khusus meminta Kemendagri untuk melakukan kajian komprehensif terkait perbaikan sistem pemilu. Dalam prosesnya, sejumlah isu strategis terkait revisi UU Pemilu telah diidentifikasi.
“Saat saya dipanggil Presiden Prabowo, ada hal khusus yang dititipkan kepada saya, salah satunya soal bagaimana pemilu dapat lebih efektif dan tidak mahal. Ini menjadi fokus saya sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri,” tambah Bima Arya.
Menurutnya, sejumlah tantangan utama yang harus diatasi adalah tingginya biaya politik, efisiensi sistem, dan besar anggaran yang diperlukan dalam setiap penyelenggaraan pemilu. “Dari hasil pengamatan di lapangan, baik oleh pelaku maupun pemilih, kita semua sepakat bahwa pemilu—baik pemilihan kepala daerah maupun pemilu anggota legislatif—memiliki biaya yang sangat tinggi,” tegas Bima.
Lebih lanjut, Bima menjelaskan bahwa revisi UU Pemilu sangat penting karena saat ini terdapat dua regulasi yang berbeda, yaitu UU Pemilu dan UU Pilkada. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa kedua UU tersebut tidak boleh memiliki perbedaan mendasar. Selain itu, terdapat beberapa ketidakselarasan dalam nomenklatur, pasal, dan ayat antara kedua undang-undang tersebut, sehingga revisi menjadi langkah yang sangat diperlukan.
“Ini adalah momen yang tepat untuk melakukan revisi. Kemendagri membuka ruang untuk berdialog. Saya yang berasal dari dunia kampus sangat terbiasa berdiskusi dan berdebat. Saya percaya bahwa proses dialektika ini akan sangat menentukan hasil akhir yang akan dicapai,” jelasnya.
Bima menekankan bahwa revisi UU Pemilu tidak seharusnya hanya fokus pada isu-isu spesifik seperti mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung, atau kepentingan politik tertentu, termasuk penggunaan sistem elektronik atau E-Voting. Diskusi yang lebih luas diperlukan untuk menciptakan sistem politik yang lebih stabil dan efektif.
Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus tetap berorientasi pada penguatan sistem presidensial, sesuai dengan prinsip otonomi daerah, dan berkontribusi pada peningkatan efektivitas sistem politik serta kualitas representasi rakyat. “Teman-teman dan para senior yang memahami ilmu politik, partai politik, dan kepemiluan pasti sangat paham bahwa tantangan terbesar sepanjang masa adalah menyeimbangkan governability dengan representativeness (keterwakilan),” paparnya.
Di satu sisi, kualitas keterwakilan demokrasi harus dijaga, tetapi di sisi lain, jangan sampai governability terhambat. Bima juga menekankan pentingnya merancang sistem politik yang dapat memperkuat persatuan bangsa. Dalam hal ini, partai politik harus mampu menjaga integrasi nasional, bukan justru memicu disintegrasi.
Ia kembali menegaskan bahwa rencana revisi ini masih dalam tahap kajian di Kemendagri, sementara DPR RI juga tengah menyusun draf revisinya. “Kami masih saling berkoordinasi dan akan membicarakan ini di DPR. Proses diskursus ini harus terus berjalan,” tutupnya. (ndi)