Oleh: Hepy Selnita, S.Pd.
(Guru SMA Negeri 1 Plampang Kabupaten Sumbawa, NTB)
Bila kita flashback beberapa tahun ke belakang, ketika menjelang penerimaan siswa baru atau menjelang masuknya tahun pelajaran baru, kita disuguhkan oleh potret sejumlah orang tua yang merasa stres dan bingung dengan nasib kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Betapa tidak, mereka dipaksa untuk melek teknologi, karena harus mendaftarkan anaknya secara online. Harus membuka akun dan terus memantau setiap saat pergerakan nilai dan peringkat nilai di jalur yang dipilihnya. Ada jalur zonasi, jalur prestasi, dan jalur afirmasi dan perpindahan orang tua.
Baik di jenjang SMP negeri atau pun SMA negeri semuanya menerapkan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara online. Sungguh memaksa para orang tua untuk melek teknologi atau sama sekali tidak peduli terhadap pendidikan anaknya, mau sekolah di mana terserah.
Ditambah lagi dengan sistem zonasi, tak ayal menyebabkan sejumlah calon siswa dari beberapa desa tidak bisa masuk ke sekolah yang didambakan atau difavoritkan. Bahkan ada yang beberapa desa, yang calon peserta didiknya dipastikan tidak bisa masuk ke sekolah negeri, karena jauh dari lokasi sekolah, meski berada dalam satu zonasi. Sungguh ironi, belum lagi persyaratan lain, yang membuat pusing kepala sejumlah orang tua.
Mereka tentu ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik dari sekolah yang ditempuhnya. Meski tidak serta merta anak-anak yang cerdas berasal dari sekolah yang favorit atau di pusat kota. SDM peserta didik yang bersangkutan juga sangat mempengaruhi kualitas lembaga pendidikan tersebut. Di samping SDM para pengajarnya atau guru-gurunya dalam membina dan mendidik peserta didik di sekolah tersebut.
Para kepala sekolah pun juga merasa pusing. Betapa tidak, segala keluhan dan protes orang tua ditujukan kepada mereka. Selama ini sekolah memiliki otoritas sendiri untuk menerima peserta didik baru. Sehingga mereka secara leluasa bisa bersaing dengan sekolah lain untuk meningkatkan kualitas lulusan, dengan merekrut SDM unggul yang disaring terlebih dahulu. Sekarang ini, dengan sitem zonasi dan PPDB online, semuanya terpusat di Dinas Pendidikan.
Kelemahan Sistem Zonasi
Sisi minus dari sistem zonasi dalam PPDB ini, seperti yang dikeluhkan para orang tua, beberapa kriteria penilaian sangat aneh dan tak masuk akal bagi orang tua, yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
Beberapa kelemahan sistem zonasi di antaranya; mereka yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah, semakin kecil peluangnya untuk masuk ke sekolah negeri, meski dalam satu kecamatan. Bagaimana dengan peserta didik, yang di kecamatan tersebut tidak ada sekolah negeri? Tentu ini mestinya dicarikan solusi oleh pemerintah. Pemerintah harus mendirikan sekolah yang dekat dengan masyarakat. Tidak hanya di pusat-pusat kota saja.
Beberapa persyaratan dalam PPDB online juga menimbulkan kecurangan atau pemalsuan data. Karena mereka berusaha agar anak-anaknya bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Misalnya membuat alamat rumah yang dekat dengan sekolah. Begitu pula dengan membuat piagam atau sertifikat sebanyak mungkin, agar mendapat penambahan nilai dalam jalur prestasi.
Dan yang membuat protes orang tua siswa bertambah lagi, yakni adanya penambahan poin yang lebih tinggi bagi calon siswa yang usianya lebih tua. Bagi masyarakat, ketika ada calon siswa yang usianya lebih tua, maka dipastikan mereka sering tertinggal kelas atau pernah tidak sekolah selama beberapa tahun belakangan. Sementara mereka, yang sejak dini punya kemampuan akademik, justru tidak mendapatkan nilai sama sekali. Hanya karena mereka lebih muda. Bahkan di jenjang SD, mereka yang belum berusia 6 tahun, tidak boleh masuk SD.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah ini, tentu membuat orang tua stress dan bingung. Pemerintah, seharusnya sebelum menentukan kebijakan, membicarakan terlebih dahulu dengan masyarakat. Kalau tidak langsung dengan orang tua calon siswa, ya mestinya dibicarakan terlebih dahulu dengan wakil-wakil rakyat yang berada di DPR/DPRD. Komite sekolah juga diajak bicara, bukan hanya dimintai stempel untuk memungut iuran sekolah saja.
Seringkali, kebijakan pemerintah langsung diterapkan. Kemudian ketika diprotes dan dikeluhkan masyarakat baru dievaluasi atau dibatalkan sama sekali. Seperti yang terjadi ketika PPDB beberapa tahun terakhir ini. Di mana setelah banyak keluhan dan protes dari orang tua, baru didengar dan dievaluasi. Sementara batas waktu PPDB sudah habis. Orangtua hanya bisa pasrah, anaknya mau sekolah atau tidak. Sementara pemerintah juga mewajibkan pendidikan dasar hingga 12 tahun.
Transformasi Zonasi PPDB ke Domisili SPMB
Berangkat dari refleksi dan membaca ulang sistem zonasi PPDB di atas penulis kemudian mencoba memberikan apresiasi kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mencoba melakukan terobosan atau setidaknya perbaikan dari kebijakan sebelumnya, dalam rangka mengupayakan pengaturan penerimaan siswa baru menjadi lebih baik.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti resmi mengubah jalur zonasi menjadi jalur domisili. Selain itu, nama Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB juga diubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru atau SPMB.
Melansir Kompas.id, jalur domisili diperuntukkan bagi calon murid yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Perbedaannya dengan zonasi yaitu jika zonasi mengacu pada jarak, sedangkan jalur domisili mengacu pada wilayah.
Dalam pasal 17 draf rancangan peraturan Mendikdasmen disebutkan bahwa calon murid yang akan mendaftar melalui jalur domisili harus memiliki kartu keluarga (KK) yang diterbitkan minimal satu tahun sebelum tanggal pendaftaran SPMB.
Jika tidak memiliki KK karena kondisi tertentu, bisa digantikan dengan surat keterangan domisili dari lurah setempat yang menyatakan bahwa calon murid tersebut telah berdomisili di wilayahnya dalam satu tahun terakhir.
Pemerintah daerah melalui dinas pendidikannya akan memetakan domisili calon murid baru sebagai acuan untuk menentukan batasan wilayah domisili. Hal ini harus diumumkan kepada masyarakat paling lambat satu bulan sebelum SPMB dibuka.
Adapun persentase jalur domisili di jenjang SD minimal 70 persen, SMP minimal 30 persen, dan SMA sederajat 30 persen. Penentuan persentase diserahkan kepada pemerintah daerah dengan mempertimbangkan jumlah calon murid baru dengan kemampuan daya tampung sekolah.
Semoga dengan sedikit perubahan aturan dan kebijakan ini akan menjadi sebuah langkah maju yang memudahkan seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan kita. (*)