Mataram (Suara NTB) – Kekerasan terhadap Perempuan dan anak masih rawan terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di tahun 2024 lalu, ditemukan setidaknya 976 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dari jumlah tersebut, kekerasan terhadap anak mencapai 603 kasus. Sisanya merupakan kekerasan terhadap perempuan dewasa yang mencapai 338 kasus.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Hamzanwadi, ST., MM., menyampaikan tujuh jenis kasus kekerasan terhadap gender yang sering ditemukan di NTB, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, traficking atau perdagangan orang, penelantaran, dan lainnya termasuk pernikahan dini masih belum menemukan solusi.
Apalagi, banyak ditemukan kasus kekerasan terjadi di lingkung pendidikan, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Masalah ini, kata Hamzan, menjadi sorotan serius, pasalnya lembaga tempat mengenyam pendidikan menjadi tempat yang rawan terhadap keselamatan perempuan.
“Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren menjadi sorotan utama. Relasi kuasa yang tidak seimbang antara santri dan pembina pondok sering kali menjadi penyebab utama,” ujarnya kepada Suara NTB setelah rapat sub klaster pencegahan kekerasan berbasis gender, Selasa, 11 Maret 2025.
Kekerasan terhadap anak tertinggi adalah kekerasan seksual, dengan 296 kasus di tahun 2024, disusul oleh kekerasan fisik sebanyak 117 kasus, kekerasan psikis 74 kasus, pemelantaran 24 kasus, eksploitasi empat kasus, dan kekerasan lainnya seperti pernikahan dini sebanyak 173 kasus.
Untuk perempuan dewasa, kekerasan fisik menjadi yang terbanyak, dengan 155 kasus. Disusul dengan kekerasan psikis 94 kadus, kekerasan seksual 88 kasus, penelantaran 24 kasus, traficking atau TPPO 11 kasus, eksploitasi empat kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 41 kasus.
Selain kekerasan seksual di lingkup pendidikan, situasi pasca-bencana tak jarang memunculkan risiko kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan fisik, yang rentan terjadi di tengah krisis. Menurut Hamzan, hingga saat ini belum ada upaya yang maksimal untuk mengedepankan hak dan kepentingan perempuan serta anak dalam penanganan bencana, terutama di masing-masing kluster penanganan.
Oleh karenanya, perlu adanya penanganan serius dari seluruh lembaga dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di NTB untuk bersama-sama memberantas kekerasan terhadap gender.
“Bagaimana mengedepankan kepentingan perempuan dan anak terhadap situasi seperti kekerasan di lokasi bencana, kekerasan seksual seperti di rumah tangga itu kan tidak menutup kemungkinan terjadi,” katanya.
Pemprov NTB, sambung Hamzan bersama dengan Pemerintah Pusat akan membuat klaster dan sub klaster penanganan kekerasan seksual, yang mana setiap klaster diisi oleh lembaga-lembaga terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas PUPR, termasuk dengan Badan Penanggulangan Bencana sebab banyak ditemukan kasus kekerasan saat situasi bencana.
“Sub klaster dan klaster ini bagaimana meminimkan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam situasi bencana,” sambungnya.
Sementara itu, untuk menghindari risiko kekerasan, khususnya kekerasan seksual, perlu adanya pendidikan tentang kekerasan seksual, pelecehan, dan bagaimana mengenali tanda-tanda kekerasan perlu diajarkan sejak dini, termasuk di sekolah-sekolah dan pondok pesantren. Dalam konteks pondok pesantren, pemerintah mengalami kendala sebab pengelolaan ponpes yang cenderung tertutup.
“Khusus di pondok pesantren ini kan agak sulit kita karena memang secara vertikal kita agak susah. Kita perlu izin, manajemen Pondok juga agak tertutup kalau kita datang bersosialisasi,” ucapnya.
Di sektor pendidikan formal, seperti sekolah negeri, DP3AP2KB telah menggencarkan sosialisasi program edukasi tentang kekerasan dan perlindungan perempuan. Program ini menyasar berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan, kata Hamzan, pihaknya gencar bersosialisasi di kalangan mahasiswa, dengan tujuan agar mereka menjadi pelopor dalam upaya pencegahan kekerasan gender di masyarakat.
“Kami ingin agar generasi muda ini bisa menjadi pelopor dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, terutama dalam situasi bencana,” tutupnya. (era)