BENCANA abrasi terus menghantui warga di pesisir Pantai Ampenan. Bencana alam ini menjadi rutinitas setiap tahun. Warga hidup di dalam kecemasan.
Ramli dan Muslim, duduk santai sambil memandang ke arah pantai pada, Minggu, 16 Maret 2025. Sesekali, mereka mengalihkan pandangan ke perahu yang berjejer persis di sisa reruntahan bangunan akibat abrasi awal Februari lalu.
Beberapa nelayan sibuk memperbaiki perahunya. Rutinitas yang lazim dikerjakan usai melaut. Tatapan Ramli sangat tajam ke arah para nelayan. Dengan posisi duduk menghadap ke arah pantai sambil menopang dagu.
Ramli (65) menceritakan pengalamannya saat masih aktif melaut. Ketika hendak menepikan perahunya ke pinggir pantai jarak antara pemukiman warga di Lingkungan Bugis lumayan jauh. “Dulu itu jauh dari tempat kita duduk ini. Sampan (perahu) kalau parkir di sini,” tuturnya.
Pengalaman menjadi nelayan dilakoni sejak masih remaja. Terkadang di usianya yang telah senja, ia meluangkan diri untuk turun menangkap ikan di Selat Bali. Ia mengenang bahwa tempatnya menjadi kawasan langganan gelombang pasang berdampak pada abrasi pantai. “Dari tahun 1981 sudah melaut saya. Kalau sekarang agak kurang, karena kadang dilarang juga sama anak saya,” kata Ramli
Kondisi abrasi yang terjadi setiap tahunnya membuat ia merasa khawatir. Pasalnya, gelombang pasang pada awal Januari 2025, mengakibatkan satu rumah rusak parah di Lingkungan Bugis. Ramli yang tinggal tidak jauh dari lokasi tersebut, mulai was-was. Sebab jarak antara pesisir pantai dengan rumah warga di perkirakan mencapai 3 meter.
“Jelas khawatir kita kalau begini-begini saja. Untung karung bantalan pasir masih bisa menahan ombak yang keras kemarin,” ungkap Ramli, sambil mantap ke arah rumah yang rusak.
Kekhawatiran Ramli tentang kejadian tersebut menjadi bayang-bayang dipikirannya ketika terulang lagi. Sehingga ia sangat berharap kepada pemerintah untuk secepatnya membangun tanggul yang bisa mencegah terjadinya abrasi yang hampir setiap tahun. “Kalau tidak diperbaiki tahun ini ia tetap begini kondisi kita di sini,” ujarnya.
Tidak jauh dari tempat duduk Ramli. Hal senada diungkapkan Muslim, dengan nada sedikit pasrah. Fenomena yang terjadi di Lingkungan Bugis tempat tinggalnya membuat ia merasa terbiasa dengan dampak abrasi yang terjadi setiap tahun tersebut. “Di Kampung Bugis ini setiap tahun terjadi, tapi tahun ini sudah yang paling parah abrasinya,” kata Muslim.
Muslim menuturkan pengalamannya saat masih muda. Pohon waru laut yang ada di dekat rumah warga menjadi patokan jarak antara bibir pantai menurutnya, lumayan jauh. Sekarang pohon waru tersebut menjadi tumbang dihempas gelombang pasang. “Sekitar 2004 ada di sini pohon waru tiga berderet, jauh dengan air laut. Sekarang sudah tidak ada,” terangnya.
Ia berharap kepada pemerintah untuk membangun tanggul yang sifatnya permanen. Pasalnya, kata Muslim, ketika cuaca buruk terjadi dampaknya tidak parah seperti tahun ini. “Kalau bisa seperti tanggal bangunan Pertamina itu, kan itu permanen, jadi kuat dia,” harapnya.
Di tempat yang berbeda, Dewi warga Mapak Kelurahan Jempong Baru, Kecamatan Sekarbela saat dijumpai menyampaikan hal yang sama. Khawatirannya soal dampak abrasi tersebut membuat ia merasa was-was akan terjadi lagi.
“Padahal main bola dulu bisa, jauh jaraknya antara pemukiman sama bibir pantai. Sekarang rumah sudah hilang di sana,” tuturnya.
Ia menjelaskan faktor abrasi yang terjadi di Pantai Loang Baloq dan Mapak disebabkan oleh tanggul sungai membentang di Pantai Loang Baloq. Sehingga menurut Dewi, tanggul ini memicu terjadinya arus tinggi ke arah selatan. “Gara-gara tanggul sungai itu, kan artinya keras ke arah sini. Makanya Pantai Loang Baloq sama Mapak parah abrasinya,” ungkap Dewi.
Dewi saat posisi duduk menghadap ke arah pantai sambil duduk bersila memprediksi, bahwa dampak abrasi bisa saja terjadi sampai jalan Dr. Sudjono. Mengingat ia memperhatikan kondisi setiap tahun abrasi terjadi. “Kalau tidak segera dibuatkan tanggul permanen bisa-bisa air laut sampai jalan ini,” ujarnya. (pan)