Mataram (Suara NTB) – Sidang dugaan korupsi proyek Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara kembali digelar, Rabu, 19 Maret 2025. Saksi dari manajemen konstruksi, memberikan keterangan terkait spesifikasi beton.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah perubahan mutu beton dari perencanaan awal K-275 menjadi K-225 pada pembangunan shelter.
“Tidak ada tuntutan saya untuk menguji,” ujar Sukismoyo selaku saksi di sidang ini ketika Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan terkait perannya dalam pengujian spesifikasi beton bangunan shelter.
Sukismoyo mengaku dirinya lebih tepat disebut team leader supervisi ketimbang manajemen konstruksi.
“Saya lebih tepat disebut team leader yang melaksanakan tugas mengecek kualitas dan kuantitas bahan bangunan,” terangnya kepada hakim.
Dari keterangan tersebut, JPU menanyakan pada yang bersangkutan terkait pemeriksaan spesifikasi beton di lapangan.
“Kami ingin menguji Pak, sebagai supervisi yang menguji kualitas, bagaimana Bapak memastikan beton yang masuk itu sesuai spesifikasi?,” tanya JPU.
Menanggapi hal tersebut, Sukismoyo mengatakan, untuk spesifikasi beton terlebih dahulu dilakukan uji lab di Universitas Mataram. Saat beton tersebut datang ke lapangan tidak ada pemeriksaan atau pengujian kembali.
“Tidak melaksanakan uji,” terangnya setelah beberapa kali ditanya JPU terkait pengujian beton di lapangan tersebut.
Sebagai informasi, dua terdakwa dalam kasus ini adalah Aprialely Nirmala (AN) selaku Pejabat Pembuat Komitmen proyek pembangunan tempat evakuasi sementara/shelter tsunami Kabupaten Lombok Utara tahun 2014 dan Agus Herijanto, pensiunan BUMN Karya bernama (AH) selaku Kepala proyek pembangunan tempat evakuasi sementara/shelter tsunami Kabupaten Lombok Utara.
Sebagai informasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merancang strategi pengurangan risiko tsunami, termasuk di dalamnya rencana pembangunan shelter.
Dalam perencanaan, shelter tsunami tersebut harus tahan gempa 9 Skala Richter (SR) dengan pagu anggaran Rp23,26 miliar.
Namun, tersangka AN, selaku PPK, menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk:
Menghilangkan balok pengikat antar kolom pada elevasi 5 meter, yang semula dirancang mengikat seluruh kolom, menjadi hanya di sekeliling bangunan. Kemudian, mengurangi jumlah tulangan kolom dari 48 menjadi 40 hingga menurunkan mutu beton dari K-275 menjadi K-225.
Atas tindakannya terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (mit)