Mataram (Suara NTB) – Jumlah kasus HIV di NTB mengalami peningkatan tajam hanya dalam kurun waktu dua tahun. Dinas Kesehatan NTB mencatat, sejak tahun 2021 hingga 2023, peningkatan kasus menyentuh hampir 100 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, dr.H. Lalu Hamzi Fikri menyebutkan, selama kurun waktu 24 tahun terhitung dari tahun 2001 – 2025, tercatat sebanyak 2.490 kasus HIV yang terlapor. Mayoritas kasus berasal dari kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL).
Kendati demikian, Lalu Hamzi Fikri menilai kasus HIV layaknya gunung es. Hanya segelintir yang nampak di permukaan, sementara masih banyak yang tidak terdata.
“Tapi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kasus di 2024 lebih melandai, dibandingkan jumlah kasus baru pada 2023. Ini sebenarnya masih menjadi catatan kita,” ujarnya, Selasa, 19 Agustus 2025.
Berdasarkan data terakhir Dinas Kesehatan NTB, Kota Mataram menjadi daerah dengan kasus HIV tertinggi, disusul Kabupaten Lombok Barat, dan Kabupaten Lombok Timur. Sebagian besar penularan berasal dari kelompok populasi kunci, terutama LSL, diikuti pekerja seks komersial, waria, pasangan berisiko tinggi, serta pasangan dari orang dengan HIV (ODHIV).
HIV menjadi salah satu penyakit yang mengancam masa depan daerah. Mantan Direktur RSUP NTB itu mengingatkan, penularan HIV tidak hanya terjadi pada pasangan sesama jenis atau pekerja seks, tetapi juga bisa menjalar ke istri dan anak dari penderita HIV. Bahkan, banyak dari pelajar di NTB terjangkit HIV.
Untuk menekan semakin menjamurnya kasus HIV di Bumi Gora, Dinkes NTB menekankan upaya pencegahan dengan memperluas edukasi dan akses layanan. Salah satunya melalui pembagian kondom di kelompok berisiko, pemberian profilaksis (obat pencegahan sebelum terpapar), serta memperkuat edukasi di sekolah-sekolah.
“Edukasi dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebagai pembina di lokasi sekolahnya di situ. Paling penting keterlibatan pihak sekolah memperkuat aspek edukasi,” katanya. Selain itu, Dinkes juga menargetkan pengguna Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza) suntik sebagai kelompok rawan HIV, dan harus mendapatkan penanganan.
“Akses itu sudah kita siapkan terutama dari aspek layanan melakukan skrining dan pemeriksaan. Bahkan di level puskesmas kita siapkan, juga di rumah sakit,” tambahnya. Dalam penanganan HIV, Pemprov NTB mengakui masih mengalami kendala. Khususnya pada stigma masyarakat mengenai penyakit ini. Menyebabkan mereka enggan berkonsultasi .
“Kadang-kadang orang malu melakukan pemeriksaan. Padahal kita menyiapkan layanan yang sudah privasi. Misalnya di rumah sakit, puskesmas melakukan konseling. Ini stigma,” tuturnya. (era)

