Oleh: Bagiarti, SH
(Pengamat Kebijakan Publik)
GILI Trawangan, permata pariwisata Nusa Tenggara Barat, hari ini sedang menahan napas. Di balik gemerlap lampu restoran dan ketenangan debur ombaknya, tersimpan sebuah kecemasan kolektif yang mendalam. Pulau ini sedang berdiri di tepi jurang krisis air bersih yang berpotensi melumpuhkan seluruh sendi kehidupannya.
Situasi ini bermula dari posisi dilematis yang dihadapi PT Tiara Cipta Nirwana (TCN), penyedia tunggal air bersih hasil desalinasi di pulau tersebut. Akibat kendala sanksi administratif perizinan, operator ini berada dalam bayang-bayang ketakutan hukum. Tanpa adanya payung legalitas yang jelas, mereka dihadapkan pada pilihan sulit: terus beroperasi dengan risiko, atau menghentikan mesin demi ketaatan hukum. Jika opsi kedua yang diambil, maka Gili Trawangan akan menghadapi skenario “kiamat kecil” berupa penghentian total suplai air bersih (zero service).
Ancaman ini bukan sekadar isu teknis semata; ini adalah lonceng peringatan akan potensi krisis ekonomi dan sosial yang masif.
Matematika Bencana Ékonomi
Mari kita berhitung dengan logika dingin. Berapa harga yang harus dibayar Kabupaten Lombok Utara (KLU) jika keran air di Gili Trawangan tertutup karena ketakutan operator terhadap jerat hukum?
Berdasarkan kalkulasi ekonomi yang kami himpun, setiap 24 jam air terhenti, KLU berpotensi menanggung kerugian ekonomi gabungan mencapai Rp2,3 miliar per hari. Angka ini bukanlah spekulasi kosong, melainkan akumulasi dari efek domino yang nyata.
Pertama, sektor perhotelan. Gili Trawangan memiliki ribuan kamar akomodasi. Jika air mati, standar sanitasi internasional runtuh seketika. Tidak ada wisatawan yang mau bertahan di pulau tropis tanpa air untuk mandi dan sanitasi. Gelombang check-out dini dan pembatalan pesanan (cancellation) akan terjadi secara massal. Dengan asumsi hilangnya separuh okupansi saja, miliaran rupiah omzet pengusaha lenyap dalam semalam.
Kedua, Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah KLU sangat bergantung pada Pajak Hotel dan Restoran (PB1). Dari hilangnya transaksi pariwisata tersebut, potensi pajak daerah yang menguap mencapai ratusan juta rupiah per hari. Dalam sebulan, KLU bisa kehilangan potensi pendapatan miliaran rupiahdana yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah atau puskesmas di daratan Lombok Utara.
Ketiga, dampak sosial dan inflasi lokal. Ketika air pipa mati, warga lokal dan pekerja wisata terpaksa membeli air curah yang didatangkan dengan tongkang dari darat. Hukum pasar berlaku; kelangkaan memicu lonjakan harga. Inflasi biaya hidup ini akan mencekik warga kecil, memicu keresahan sosial, dan berpotensi melahirkan konflik horizontal.
SP2HP Polda NTB: Sinyal “Lampu Hijau” Administrasi
Banyak pihak ragu mengambil keputusan karena takut akan kriminalisasi. Namun, perkembangan hukum terbaru sebenarnya telah memberikan angin segar bagi Pemerintah Daerah untuk bertindak.
Polda NTB telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor B141/XVRES.53/2024/Ditreskrimsus. Dalam dokumen vital ini, kepolisian memutuskan untuk menghentikan penyelidikan kasus dugaan pidana lingkungan terhadap PT TCN dengan merujuk pada asas Ultimum Remedium.
Artinya, aparat penegak hukum memandang bahwa penyelesaian kasus ini harus mendahulukan sanksi administratif dan perbaikan, bukan pemidanaan. Polisi secara teknis hukum menilai bahwa meskipun ada kerusakan karang, penegakan hukum pidana bukanlah jalan utama saat ini.
Fakta hukum ini harus dibaca dengan jeli oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Keluarnya SP2HP ini adalah sinyal bahwa “Pintu Pidana Telah Ditutup Sementara”, dan kuncinya kini diserahkan kembali ke “Pintu Administrasi”. Ini memberikan legitimasi yang sangat kuat bagi Bupati untuk masuk dan mengambil alih kendali tanpa perlu takut dituduh melindungi penjahat lingkungan, karena kepolisian sendiri telah menyatakan kasus ini lebih berat pada aspek administratif.
Diskresi: Pintu Darurat Konstitusional
Dengan adanya SP2HP tersebut, Bupati memiliki landasan moral dan hukum yang jauh lebih kokoh. Hukum Administrasi Negara melalui UU Nomor 30 Tahun 2014 telah menyediakan “pintu darurat” yang disebut Diskresi. Undang-undang ini memberikan wewenang kepada pejabat pemerintahan untuk mengambil keputusan guna mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan mendesak, demi kemanfaatan umum.
Menerbitkan Diskresi atau Surat Perintah Operasi Darurat kepada PT TCN saat ini adalah langkah konstitusional yang paling bijak. Langkah ini selaras dengan semangat Ultimum Remedium yang diusung kepolisian: berikan kesempatan perbaikan, jangan matikan usahanya (dan layanan publiknya).
Dalam kaidah hukum, kita mengenal asas Salus Populi Suprema Lex Esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Membiarkan Gili Trawangan tanpa air atas nama prosedur administrasi yang sedang berproses adalah sebuah ironi kebijakan yang harus dihindari.
Mandat Terukur untuk Bupati
Bupati Lombok Utara memiliki peluang emas untuk menunjukkan kualitas kenegarawanannya. Dengan menerbitkan diskresi tersebut, Bupati tidak sedang melindungi korporasi. Beliau sedang melindungi ribuan tenaga kerja pariwisata, melindungi citra pariwisata nasional, dan melindungi hak dasar warganya atas air bersih.
Tentu, dukungan publik ini harus dimaknai sebagai mandat yang terukur. Diskresi yang dikeluarkan nanti sebaiknya bersifat “bersyarat ketat”.
Bupati dapat memerintahkan PT TCN tetap beroperasi demi rakyat, namun dengan syarat mutlak: perusahaan wajib menyelesaikan perbaikan teknis pengelolaan limbah (brine disposal) dalam tenggat waktu yang tegas, sebagaimana direkomendasikan dalam SP2HP kepolisian agar kerusakan tidak meluas. Ini adalah solusi win-win: air tetap mengalir untuk rakyat, namun komitmen pemulihan lingkungan tetap berjalan.
Publik percaya, Bupati Lombok Utara memiliki keberanian, kearifan, dan kini—dukungan fakta hukum dari kepolisian—untuk mengambil keputusan ini. Satu tanda tangan di atas lembar diskresi tersebut bernilai penyelamatan ekonomi miliaran rupiah dan, yang lebih penting, menjaga nyala kehidupan di Gili Trawangan.
Bapak Bupati, rakyat berdiri di belakang Anda. Jangan biarkan Gili mengering hanya karena kita terlalu kaku membaca teks aturan, namun lupa membaca konteks penderitaan rakyat. (*)

