spot_img
Sabtu, Desember 27, 2025
spot_img
BerandaOPINIAkar yang Terlupakan, Banjir yang Menyapa: Ketika Hutan Berhenti Bercerita

Akar yang Terlupakan, Banjir yang Menyapa: Ketika Hutan Berhenti Bercerita

@AARahman

Mataram, 1 Desember 2025

Ada sebuah kota kecil di Sumatera yang dulu bersembunyi di balik selimut hutan hujan yang lebat. Udara di sana terasa basah dan segar, penuh dengan bisik-bisik daun dan kicauan burung. Di sana, hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Ia adalah sebuah kota metropolitan yang sibuk, dengan jaringan bawah tanah yang rumit dan pertahanan hidup yang sempurna. Kisah ini dimulai dari dua dunia yang tak terlihat: *Rizosfer* dan *Filosfer*.

*Rizosfer: Si Penjaga Bawah Tanah yang Tak Tampak*

Bayangkan sehelai akar pohon hutan. Ia tidak sendirian. Di sekelilingnya, ada wilayah khusus bernama *Rizosfer*—zona santap para penjaga tak kasat mata. Di sini, miliaran mikroba—bakteri dan jamur—hidup dalam simbiosis sempurna dengan akar.

Mereka adalah insinyur alam terhebat. Jamur mikoriza dan aktinomisetes, misalnya, menjalin jaringannya yang halus (hifa) yang memperpanjang jangkauan akar pohon ratusan kali lipat. Jaringan inilah yang menjadi *spons raksasa bawah tanah*. Saat hujan turun, air tidak langsung mengalir ke sungai. Ia diserap, ditahan, dan disimpan oleh jaringan mikroba dan akar ini. Mereka adalah benteng pertama yang memperlambat air, memberinya waktu untuk meresap pelan-pelan ke dalam tanah, mengisi cadangan air tanah.

Sementara itu, di atas…

*Filosfer: Pabrik Udara dan Perisai Alami*

*Filosfer* adalah dunia yang hidup di permukaan daun. Lapisan ini dipenuhi oleh mikroba dan lumut yang membantu pohon bernafas, berfotosintesis, dan bahkan melawan penyakit. Tapi peran terbesarnya adalah sebagai *payung raksasa*.

Kanopi hutan hujan yang berlapis-lapis itu tidak membiarkan hujan jatuh langsung menghujam tanah. Daun-daunnya menahan dan *mengintersepsi* butiran hujan. Sebagian air menguap kembali ke langit, mempertahankan kelembaban. Air yang akhirnya menetes ke tanah sudah kehilangan energinya. Ia turun dengan lembut, seperti embun pagi, siap disambut oleh “spons” di rizosfer.

*Monokultur: Ketika Orkestra Berubah Menjadi Satu Nada*

Lalu, datanglah perubahan. Hutan yang kaya ragam itu dibuka. Pohon-pohon raksasa dengan rizosfer dan filosfernya yang kompleks digantikan oleh barisan kelapa sawit yang seragam.

Inilah yang disebut *monokultur*. Sebuah orkestra simfoni yang dahulu memainkan berbagai nada—dari kayu keras sampai rempah—kini digantikan oleh satu drum yang ditabuh berulang-ulang.

Akar sawit yang seragam dan dangkal tidak mampu membentuk jaringan rizosfer yang sekuat dan serumit hutan alam. “Spons raksasa” itu pun menghilang. Tanah menjadi padat dan kehilangan kemampuannya menyerap air.

Filosfernya pun berubah. Kanopi sawit yang seragam tidak bisa menahan hujan sehebat kanopi hutan berlapis. Air hujan jatuh lebih langsung ke tanah, dengan energi yang masih besar.

*Banjir Bandang: Akumulasi dari Semua Ketiadaan*

Lalu, ketika hujan deras tiba—yang semakin ekstrem akibat perubahan iklim—tidak ada lagi yang bisa menghentikan lajunya.

  • *Tidak ada* lagi filosfer hutan sebagai payung raksasa.
  • *Tidak ada* lagi rizosfer sebagai spons bawah tanah.
  • Yang ada hanyalah tanah yang gundul dan padat.

Air hujan yang seharusnya ditahan, diserap, dan dialirkan pelan-pelan, kini langsung meluncur deras ke dataran rendah. Ia menggerus tanah, mengangkut lumpur, dan membentuk danaunya sendiri dalam sekejap. Inilah yang kita sebut *banjir bandang*—sebuah konsekuensi hidrologis yang sangat logis dari sebuah ketiadaan.

*Harga Nyawa Manusia: Titik Akhir Cerita*

Inilah titik di mana sains bertemu dengan nestapa. Rantai kausalnya kini jelas:

*Laju Deforestasi yang Tinggi → Hilangnya Rizosfer & Filosfer → Hilangnya Kemampuan Menahan Air → Meningkatnya Potensi Banjir Bandang → Ancaman Nyawa Manusia.*

Rumah-rumah yang berdiri di tanah yang dahulu adalah jalur resapan air, tersapu oleh kekuatan yang seharusnya bisa dicegah. Nyawa, harapan, dan sejarah, ikut terbawa dalam arus yang sebenarnya bukan takdir, melainkan hasil kalkulasi yang keliru.

Kita tidak bisa lagi memandang hutan sebagai sekadar kumpulan kayu. Ia adalah sebuah sistem hidup yang canggih, dengan jaringan mikroba di akar dan daunnya yang berfungsi sebagai pengatur tata air terhebat di planet ini. Ketika kita menggantinya dengan sistem yang sederhana dan rapuh, kita menukar sebuah benteng pertahanan dengan sebuah tenda di tengah badai.

Harga yang kita bayar bukan lagi sekadar hilangnya keanekaragaman hayati, tapi sudah langsung pada *harga nyawa manusia*. Setiap hektar hutan yang hilang, adalah sekeping uang logam yang kita lempar ke dalam sungai yang suatu hari akan meluap dan menagih hutang itu dengan caranya yang paling pahit.

Mari kita berhenti sejenak. Mendengar lagi cerita yang disampaikan oleh rizosfer dan filosfer. Karena masa depan kita, ternyata, sangat bergantung pada dunia-dunia kecil yang selama ini kita abaikan. (*)

IKLAN









RELATED ARTICLES
- Advertisment -




VIDEO