Bima (suarantb.com) – Musim ikan kerap datang beriringan dengan musim hujan. Saat langit lebih sering mendung dan angin laut berubah tak menentu, justru pada masa inilah para nelayan biasanya meraup rezeki. Laut memberi hasil melimpah, namun pada saat yang sama menghadirkan risiko badai yang tak bisa diabaikan.
Pemandangan tersebut kembali terlihat di Pantai Lawata, Kota Bima. Sejumlah perahu nelayan terparkir rapi di sepanjang pesisir. Mereka bukan nelayan lokal, melainkan warga Kabupaten Bima, sebagian besar berasal dari Kecamatan Langgudu dan sekitarnya. Setiap tahun, kawasan ini menjadi tempat singgah sementara bagi nelayan ketika cuaca laut memburuk.
Salah seorang nelayan asal Desa Rompo, Kecamatan Langgudu, Mulyadin, mengatakan cuaca buruk yang melanda perairan Bima dalam beberapa waktu terakhir memaksa para nelayan menghentikan aktivitas melaut. Gelombang tinggi disertai angin kencang membuat mereka memilih menepi demi keselamatan.
Saat ditemui Suara NTB, Mulyadin tampak duduk termenung di tepi Pantai Lawata. Pandangannya tertuju pada perahunya yang terparkir, seolah menghitung waktu yang terbuang bersama gelombang yang tak kunjung bersahabat.
“Untuk sementara, sambil menunggu cuaca membaik, kami memanfaatkan waktu untuk membenahi kapal dan jaring yang rusak,” ujarnya, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan, satu kapal biasanya diawaki lima hingga delapan Anak Buah Kapal (ABK). Saat ini, kata dia, para nelayan sebenarnya tengah berada di puncak musim ikan tongkol dan cakalang. “Sekarang ini biasanya ikan tongkol sama cakalang. Kalau cuaca bagus, kami seharusnya melaut terus,” ujarnya.
Menurut Mulyadin, terhentinya aktivitas melaut membawa kerugian yang tidak sedikit. Satu kapal ukuran sedang mampu memuat sekitar 10 hingga 15 ember ikan dalam sekali melaut. Jika cuaca buruk berlangsung lama, kerugian yang ditanggung bisa mencapai jutaan hingga belasan juta rupiah per hari.
“Biasanya kalau cuaca normal, saya bisa dapat lima sampai sepuluh ember ikan per hari di sekitar perairan Teluk Bima,” katanya.
Namun saat cuaca buruk datang, hasil tangkapan menjadi nihil. Tidak ada satu rupiah pun yang bisa diperoleh. Meski demikian, Mulyadin mengaku kondisi seperti ini bukan hal baru bagi nelayan. Cuaca buruk di akhir tahun telah menjadi siklus yang selalu mereka hadapi.
Sebagai nelayan yang telah 15 tahun melaut, Mulyadin mengaku terbiasa membaca tanda-tanda alam. Perubahan arah angin, tinggi gelombang, hingga kondisi cuaca menjadi isyarat kapan harus bertahan dan kapan harus menepi.
“Kalau tanda-tandanya sudah terasa, kami tidak memaksakan diri. Kami menepi, bisa seminggu atau lebih,” ujarnya.
Dalam satu musim, nelayan Langgudu bisa melaut hingga ke perairan Kore, bahkan sampai ke ujung Sangiang, Kecamatan Wera. Mereka dapat berada di laut selama berhari-hari dan tidak pulang hingga musim ikan di laut berakhir. Hasil tangkapan kemudian diangkut menggunakan perahu kecil ke daratan untuk dijual kepada pengepul di kawasan Songgela atau Bolo. Kebutuhan logistik, mulai dari bahan makanan hingga bahan bakar, juga dipenuhi dengan cara yang sama.
Tradisi menepi di Pantai Lawata ini terus berulang setiap tahun. Di tengah anomali cuaca yang kini kian sulit diprediksi, para nelayan tetap bertahan dengan pengetahuan alam yang mereka miliki. Di antara hujan dan badai, mereka menunggu, karena di musim yang paling berisiko itulah laut biasanya paling murah hati. (hir)

