spot_img
Selasa, Desember 23, 2025
spot_img
BerandaNASIONALTragedi di Balik Angka: Menggugat Kegagalan Kolektif Penanganan Rabies di Bali dan...

Tragedi di Balik Angka: Menggugat Kegagalan Kolektif Penanganan Rabies di Bali dan Nusa Tenggara

 

 


Oleh: IB Windia Adnyana
(Dosen di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana)


RABIES adalah penyakit yang kejam karena sifatnya yang absolut; ia tidak memberi ruang untuk kesalahan atau spekulasi. Sekali tanda klinis muncul pada sistem saraf manusia, hampir dapat dipastikan cerita akan berakhir dengan kematian. Oleh karena itu, keberhasilan pengendalian rabies tidak bisa sekadar dinilai dari niat baik pemerintah daerah, besarnya anggaran yang digelontorkan, atau status “zona hijau” di atas kertas laporan. Keberhasilan hanya valid jika diukur dengan dua indikator konkret: apakah angka gigitan menurun secara signifikan, dan apakah kematian manusia benar-benar telah berhenti.


Tiga provinsi yang membentang di kepulauan Sunda Kecil—Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)—sering kali dibahas dalam silo yang terpisah. Bali kerap dianggap sebagai model yang lebih “maju” karena dukungan industri pariwisata. NTB sering dipuji karena keberhasilan Pulau Lombok mempertahankan status bebas rabiesnya. Sementara itu, NTT sering dipandang “tertinggal” akibat tantangan geografis.


Namun, jika kita membedah data tahun 2024 dan 2025 dengan jujur, ketiga provinsi ini sejatinya membentuk satu sabuk epidemiologi yang sangat rapuh. Realitas di lapangan menyingkap bahwa ketiga wilayah ini sedang menghadapi kegagalan kolektif. Perbedaannya hanya terletak pada skala angka dan konteks sosial-budaya, namun akar masalahnya tetap satu: tata kelola risiko dan perilaku masyarakat yang belum tuntas dibenahi.


Bali 2025: Paradoks Vaksinasi Tinggi dan Gigitan yang Menggunung
Hingga November 2025, Bali mencatat angka statistik yang mengejutkan: 57.853 kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR). Jika dirata-rata, terdapat sekitar 193 orang yang digigit anjing setiap harinya sepanjang tahun di Pulau Dewata. Dari jumlah kasus masif tersebut, tercatat 41.314 orang telah menerima Vaksin Anti Rabies (VAR). Angka ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa sistem layanan kesehatan di Bali bekerja cukup efektif dalam merespons kasus.


Namun, di balik respons kuratif tersebut, terdapat fakta yang paling mengkhawatirkan: 14 kematian akibat rabies terjadi hingga akhir 2025. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2024. Ironisnya, kasus kematian tertinggi justru terjadi di kabupaten yang merupakan pusat pariwisata dan ekonomi, yaitu Badung (4 kasus), disusul oleh Karangasem dan Buleleng (masing-masing 3 kasus).


Data ini menegaskan satu paradoks kebijakan. Rabies di Bali saat ini bukan lagi sekadar masalah kekurangan stok vaksin, melainkan masalah tingginya paparan (exposure) risiko gigitan di tengah masyarakat. Ketika hampir 200 orang digigit setiap hari, maka sekecil apa pun celah keterlambatan penanganan luka atau pemberian vaksin—baik karena ketidaktahuan korban atau jarak ke fasilitas kesehatan—dapat berujung fatal. Anjing yang dilepasliarkan di wilayah urban menjadi pemicu utama, menciptakan celah transmisi virus yang tak kunjung tertutup meskipun di atas kertas cakupan vaksinasi kabupaten dilaporkan tinggi.


NTB 2025: Tragedi Kumulatif di Balik Selat Alas
Bergeser ke timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyajikan realitas yang lebih kelam. Sementara Pulau Lombok mati-matian mempertahankan status bebas rabiesnya, Pulau Sumbawa justru sedang menanggung beban sejarah wabah yang tak kunjung usai.


Data terbaru Dinas Kesehatan NTB menyingkap suatu tragedi kumulatif. Sepanjang periode 2019 hingga Juli 2025, tercatat 64 nyawa melayang akibat rabies di provinsi ini. Angka ini bukan sekedar statistik, melainkan bukti kegagalan sistemik dalam melindungi nyawa warga selama bertahun-tahun. Kabupaten Dompu menjadi wilayah dengan luka terdalam (29 kematian), disusul Kabupaten Sumbawa (19 kasus), dan Bima (16 kasus gabungan kabupaten dan kota).


Penyebab utama tingginya fatalitas di NTB adalah rendahnya literasi masyarakat mengenai respons cepat (emergency response). Banyak korban meninggal karena tidak segera mencuci luka dengan sabun selama 15 menit atau terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.


Ironisnya, tingginya angka kematian ini bukan semata akibat ketiadaan stok VAR/SAR di gudang farmasi. Masalahnya lebih fundamental: keterputusan informasi. Banyak korban di pelosok Dompu dan Sumbawa meregang nyawa karena tidak segera mengakses layanan medis, akibat meremehkan ‘luka kecil’ gigitan. Di sisi lain, dengan anggaran operasional daerah yang minim dan ketergantungan pada pusat yang tinggi, jaminan ketersediaan stok vaksin di puskesmas terpencil menjadi taruhan yang berisiko di masa depan.


Situasi ini diperparah oleh karakteristik populasi anjing di Pulau Sumbawa yang berbeda dengan Bali. Di sini, tantangan utamanya adalah populasi anjing liar (stray dogs) yang hidup di hutan atau ladang jagung, yang sangat sulit ditangkap untuk divaksinasi. NTB seolah sedang memadamkan kebakaran hutan dengan ember air: reaktif, sporadis, dan kewalahan menghadapi “bom waktu” ekologis ini.


NTT 2025: Wabah Aktif dan “Attitude-Behavior Gap”
Di ujung timur kepulauan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi situasi yang paling gawat: suatu wabah aktif yang belum mereda. Hingga pertengahan 2025, lonjakan gigitan dan kematian terus terjadi secara sporadis. Data Agustus 2025 menunjukkan akumulasi sekitar 10.000 kasus gigitan dengan 16 kematian di seluruh provinsi.


Gambaran paling kritis terlihat di Manggarai Timur. Dengan populasi anjing mencapai 39.000 ekor, baru sekitar 1.800 ekor yang tervaksinasi hingga September 2025 (kurang dari 5 persen). Dalam hitungan epidemiologi, ini adalah resep bencana di mana virus beredar bebas tanpa hambatan.
Mengapa wabah ini begitu sulit dihentikan? Suatu penelitian tesis terbaru oleh Tiara Lekameti Rona (2025) di Universitas Udayana memberikan jawaban mikroskopis dari Kota Kupang. Studi ini menyingkap fenomena Attitude-Behavior Gap atau kesenjangan antara sikap dan perilaku.
Tahu Tapi Tidak Mampu: 77% pemilik anjing sadar bahaya rabies, namun hanya 51% yang mempraktikkan pencegahan yang tepat.

Perilaku Berisiko: 49% pemilik anjing di ibu kota provinsi ini mengaku melepasliarkan anjingnya, membuat vaksinasi door-to-door sulit dilakukan.


Hambatan Budaya: Studi ini menemukan bahwa konsumsi daging anjing berkorelasi kuat dengan rendahnya vaksinasi. Anjing yang dipandang sebagai komoditas konsumsi cenderung tidak dilindungi kesehatannya.


Temuan di Kupang ini adalah cermin bagi seluruh wilayah Bali – Nusa Tenggara: program vaksinasi gagal bukan hanya karena kurangnya logistik, tetapi karena gagal menembus tembok budaya.


Benang Merah: Tiga Wajah Kegagalan
Meskipun konteksnya berbeda — Bali dengan pariwisatanya, NTB dengan anjing liarnya, dan NTT dengan kendala geografisnya—ketiga provinsi ini berbagi tiga persoalan inti:
Manajemen Populasi yang Nihil: Kontrol terhadap pergerakan anjing sangat lemah, memungkinkan vektor rabies bermigrasi tanpa batas.


Ilusi Angka Cakupan vaksinasi: Laporan cakupan tinggi sering kali menyembunyikan “kantong bolong” (wilayah tak tervaksin) di tingkat dusun.


Keterlambatan Respons: 64 kematian kumulatif di NTB, 14 kematian tahunan di Bali, dan 16 kematian tahunan di NTT memiliki narasi serupa: keterlambatan penanganan luka dan vaksinasi.


Penutup: Menghentikan Tragedi
Data tahun 2025 mengirimkan pesan keras kepada para pemangku kebijakan: strategi “bisnis seperti biasa” tidak lagi memadai. Angka keramat cakupan vaksinasi 70% hanyalah batas minimum, bukan jaminan eliminasi.


Untuk menyelamatkan nyawa manusia di sabuk Sunda Kecil ini, strategi harus bergeser secara fundamental:


Di Bali, fokus harus beralih ke penegakan aturan kepemilikan anjing (responsible pet ownership) yang ketat di level desa adat.


Di NTB, penanganan harus bersifat darurat. Dengan 64 kematian yang sudah terjadi, strategi khusus untuk anjing liar (seperti vaksinasi oral) harus segera dipertimbangkan, diiringi kampanye literasi masif tentang tata-laksana pasca-gigitan.


Di NTT, pendekatan sosio-kultural harus dikedepankan. Gunakan tokoh agama dan adat untuk menjembatani kesenjangan perilaku dan mengatasi risiko konsumsi daging anjing tanpa menghakimi.


Rabies tidak mengenal batas administrasi provinsi. Ia bergerak mengikuti setiap celah interaksi antara anjing, virus, dan manusia. Dan setiap celah yang kita biarkan terbuka di Bali, Sumbawa, atau Flores, pada akhirnya adalah nyawa manusia yang menjadi taruhannya. (*)

IKLAN









RELATED ARTICLES
- Advertisment -











VIDEO