Mataram (suarantb.com) – Persoalan pola pengasuhan anak masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi NTB. Anggapan bahwa mengasuh anak menjadi tanggung jawab satu pihak tertentu, seperti ibu dalam sebuah keluarga masih marak terjadi.
Kondisi ini menjadi penyebab meningkatnya angka fatherless di Indonesia terutama di NTB. Fatherless merujuk pada kondisi di mana seorang anak tumbuh tanpa kehadiran figur ayah, baik secara fisik maupun emosional.
Anak yang kehilangan sosok ayah dalam pengasuhannya berpotensi mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan kesepian.
Menurut laporan Kementerian Penduduk dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) Perwakilan NTB, sekitar 440 ribu atau 20 persen kasus fatherless terjadi di NTB hingga 2024.
Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN NTB, Johari Efendi, Sabtu (20/12/2025) mengatakan, kasus fatherless di NTB terbilang tinggi. Jumlah ini diproyeksikan berpotensi meningkat ke depan.
“Kalau tidak salah sekitar 440 ribu kasus fatherless di NTB dan mungkin ada perkembangan ada perubahan data, tapi itu sudah tinggi,” ujarnya.
Johari menjelaskan, salah satu faktor utama penyebab kasus fatherless tinggi di NTB adalah keberadaan figur ayah yang hilang dalam keluarga. Tuntutan kerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri membuat jarak ayah dan anak semakin renggang.
Hilangnya peran ayah baik secara fisik maupun emosional dalam pola pengasuhan anak membuat kasus fatherless kian marak.
Johari menuturkan, jarak tidak seharusnya menjadi penghalang bagi ayah untuk berperan dalam mengasuh anak. Terlebih, di zaman kemudahan informasi, ayah bisa memantau perkembangan anaknya melalui media sosial atau fitur panggilan video di gawai.
“Kita berharap peran ayah itu tetap selalu ada, bukan saja perannya memenuhi kebutuhan ekonomi saja, tetapi kebutuhan emosionalnya, kebutuhan pendidikannya, kebutuhan fisik dan psikologisnya harus ada,” tutur Johari.
Selain alasan pekerjaan yang berjarak, faktor kultural juga ikut memperparah kasus fatherless di NTB. Di mana, anggapan bahwa tanggung jawab mengasuh anak dibebankan kepada ibu saja, menjadi alasan kasus fatherless terus meningkat.
“Kita kebanyakan menyerahkan pola pengasuhan itu ke ibu, padahal pola pengasuhan itu bukan saja peran ibu, tetapi peran ayah sangat besar di sana,” jelasnya.
Johari menuturkan dampak negatif dari fenomena fatherless. Pertama, anak rentan menjadi korban kejahatan baik fisik maupun seksual. Pola komunikasi yang buruk dalam keluarga membuat anak kerap menjadikan orang lain sebagai teman bicara.
Kondisi itu, jelas Johari, rentan dimanfaatkan oknum tertentu untuk menjerumuskan anak-anak ke hal negatif seperti kekerasan seksual, pernikahan dini, dan narkotika. “Banyak hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi apabila peran ayah itu sangat kurang di keluarga,” terangnya.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan NTB terus mendorong peran ayah dalam pengasuhan dan pendampingan anak.
Beberapa program telah digaungkan seperti Gerakan Ayah Mengambil Rapor (Gemar) ke Sekolah dan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) di mana bertujuan mendorong ayah lebih aktif terlibat dalam pengasuhan dan pendampingan anak demi membangun keluarga berkualitas.
“Kalau saja sebagian besar atau seluruh ayah-ayah di NTB lebih peduli terhadap perkembangan anaknya, insyaallah generasi NTB akan bisa meraih generasi emas 2045,” tandasnya. (sib)

