KEBIJAKAN Pemkot Mataram terkait penerapan sanksi dan kewajiban pemilahan sampah dinilai masih belum siap diterapkan di tengah masyarakat. Hal ini disampaikan anggota DPRD Kota Mataram, I Gede Wiska, S.Pt., menjawab Suara NTB melalui sambungan telepon, Selasa (23/12/2025).
Dia menilai kebijakan tersebut terkesan mendadak dan belum didukung kesiapan sosial maupun sarana pendukung di lapangan. Menurut Wiska, secara regulasi, sanksi terkait pengelolaan sampah sebenarnya telah diatur dalam peraturan daerah (perda) sejak lama. Namun, implementasi aturan tersebut dinilai tidak konsisten dan baru kembali digaungkan ketika kondisi sudah terdesak, khususnya akibat persoalan pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongo.
“Kalau bicara dasar hukum, sanksi itu sudah diatur dalam perda. Artinya wali kota hanya menjalankan perintah peraturan yang sudah ada. Tapi masalahnya, dari dulu aturan ini tidak dijalankan secara maksimal. Sekarang kesannya justru terkesan mendadak karena kondisi sudah terdesak,” ujarnya.
Ia menilai masyarakat belum sepenuhnya siap menerima kebijakan tersebut. Salah satu penyebab utamanya adalah sosialisasi yang belum merata. Informasi terkait pemilahan sampah dan sanksi dinilai baru banyak diketahui melalui media, namun belum menyentuh langsung lapisan masyarakat paling bawah.
Selain soal sosialisasi, kebijakan kewajiban menyediakan kantong atau wadah sampah secara mandiri juga menimbulkan persoalan baru, terutama bagi masyarakat kurang mampu. Jika pemilahan sampah harus dilakukan setiap hari menggunakan kantong plastik sekali pakai, maka hal tersebut berpotensi menambah beban biaya rumah tangga.
“Kalau masyarakat menengah ke atas mungkin tidak terlalu masalah. Tapi bagi masyarakat kurang mampu, ini menjadi biaya baru. Plastik itu memang terlihat sepele, tapi kalau setiap hari harus beli, dalam sebulan tentu terasa,” jelas Wiska.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini juga menyoroti adanya kontradiksi kebijakan. Di satu sisi, Pemkot Mataram mendorong pembatasan penggunaan kantong plastik, namun di sisi lain justru mendorong masyarakat membuang sampah menggunakan kantong plastik.
Dari sisi penegakan aturan, Dewan juga menilai penerapan sanksi belum merata. Saat ini, sanksi lebih banyak diarahkan kepada masyarakat yang tidak melakukan pemilahan sampah, sementara sanksi bagi pelaku pembuangan sampah sembarangan, seperti di sungai atau saluran air, dinilai belum terlihat tegas.
“Padahal dari dulu yang kita harapkan itu sanksi bagi yang buang sampah sembarangan, di sungai, di kali. Tapi sekarang justru terkesan hanya fokus ke pemilahan sampah, sementara yang buang sampah sembarangan belum tersentuh,” ujarnya.
Kondisi ini semakin diperumit dengan peran operator pengangkut sampah roda tiga di lingkungan. Operator selama ini menerima iuran bulanan dari masyarakat dengan nominal bervariasi. Namun, di lapangan, sampah yang sudah dipilah oleh sebagian warga kerap kembali tercampur saat diangkut.
“Ini juga dilematis. Operator menerima iuran dari masyarakat, tapi sampah yang dipilah sering diaduk kembali. Ini harus menjadi perhatian Pemkot, karena kalau begini, semangat masyarakat untuk memilah sampah bisa turun,” demikian Wiska. (fit)

