Giri Menang (Suara NTB) – NTB sebagai daerah pariwisata beragam sangat rentan mengalami gangguan Keamanan dan Ketertiban, apalagi jika ada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti Natal dan Tahun Baru. Tingginya arus wisatawan pada masa-masa ini sebagai fase rawan yang membutuhkan kesiapsiagaan menyeluruh lintas sektor. Dalam konteks ini, peran media massa dinilai sangat strategis dalam menjaga stabilitas daerah.
Sebagai langkah antisipatif sekaligus wujud empati terhadap kondisi kebencanaan, Pemerintah Provinsi NTB bersama Pemerintah Kota Mataram memutuskan untuk meniadakan perayaan malam Tahun Baru 2026 secara terpusat. Kegiatan tersebut digantikan dengan zikir dan doa bersama sebagai bentuk kepedulian serta upaya menjaga suasana tetap kondusif.
“Peniadaan perayaan malam tahun baru terpusat merupakan langkah preventif sekaligus refleksi spiritual menghadapi potensi bencana dan dinamika keamanan,” ujar Kasubdit III Dit Intelkam Polda NTB, Kompol Setia Wijatono, S.H., M.H., dalam Workshop Antisipasi Ancaman dan Gangguan Perayaan Nataru di NTB serta Rapat Kerja Forum Wartawan Pemprov NTB di Puri Saron Hotel, Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Selasa 23 Desember 2025.
Berdasarkan pemetaan aparat keamanan, terdapat sejumlah potensi kerawanan yang menjadi perhatian selama Nataru. Di antaranya aktivitas kelompok eks HTI, FPI, dan jaringan radikal yang masih menyebarkan paham melalui aksi solidaritas, penolakan kebijakan pemerintah, hingga pemanfaatan media sosial.
Selain itu, meningkatnya aktivitas masyarakat di pusat keramaian seperti objek wisata, pusat perbelanjaan, dan lokasi perayaan akhir tahun turut meningkatkan risiko gangguan kamtibmas. Termasuk lonjakan arus mudik dan mobilitas warga yang berpotensi memicu kecelakaan lalu lintas, serta ancaman kriminalitas konvensional seperti pencurian, perampokan, curat, curas, curanmor, peredaran minuman keras ilegal, dan petasan.
“Potensi provokasi, intimidasi, dan konflik horizontal, termasuk kasus anarkisme (anirat) di sejumlah wilayah khususnya Kabupaten/Kota Bima,” jelasnya.
Selain ancaman keamanan, sejumlah isu strategis juga dinilai berpotensi memicu gejolak sosial. Di antaranya rencana penetapan Hari Mualaf Sedunia pada 25 Desember 2025 oleh kelompok tertentu yang dinilai sensitif karena bertepatan dengan Hari Raya Natal. Isu lain yakni tuntutan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) yang masih mengemuka melalui aksi unjuk rasa, meski terbentur moratorium pemekaran daerah otonomi baru hingga 2026.
Persoalan lain yang turut menjadi perhatian adalah polemik status tenaga honorer menjelang batas akhir 31 Desember 2025 sesuai ketentuan UU ASN, meskipun pemerintah telah menyiapkan skema PPPK Paruh Waktu. Selain itu, sengketa lahan seperti kasus PT ITDC di Kuta, Lombok Tengah, serta konflik lahan di Dusun Ai Jati, Kabupaten Sumbawa, turut menjadi catatan. Fluktuasi harga kebutuhan pokok menjelang Natal dan Tahun Baru juga menjadi faktor yang perlu diantisipasi.
Ancaman lain yang tak kalah serius adalah cuaca ekstrem. Berdasarkan prakiraan BMKG, NTB berpotensi terdampak siklon tropis yang memicu hujan lebat disertai angin kencang, banjir, tanah longsor, hingga gelombang tinggi di wilayah pesisir.
“Aparat keamanan bersama pemerintah daerah telah menyiapkan langkah mitigasi untuk mengantisipasi risiko bencana selama periode Nataru,” ujarnya.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, pemerintah memastikan ketersediaan stok dan ketahanan pangan NTB tetap aman menjelang dan selama Nataru, meskipun cuaca ekstrem berpotensi memengaruhi produksi di sejumlah sektor.
“Secara umum, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di NTB masih terpantau kondusif, dengan Polda NTB dan jajaran Polres melakukan kesiapan pengamanan secara terpadu,” tambahnya.
Sementara itu, Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA) NTB menegaskan peran strategis media massa sebagai kunci menjaga stabilitas keamanan dan citra daerah selama periode Nataru.
Kepala BINDA NTB, Amirudin, menyebut media memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik yang berdampak langsung pada rasa aman masyarakat dan kepercayaan wisatawan.
“Ini bukan hanya soal Nataru, tetapi menyangkut masa depan NTB. Momentum ini menjadi pintu masuk mobilisasi orang ke daerah kita dan kepentingan nasional untuk menciptakan situasi yang kondusif,” ujarnya.
Menurut Amirudin, NTB memiliki modal besar sebagai daerah wisata dengan keberagaman sosial dan budaya. Namun, daya tarik tersebut sangat bergantung pada narasi positif yang dibangun di ruang publik.
“Media bukan hanya penyampai informasi, tetapi juga opinion leader dan penjaga kualitas informasi di tengah derasnya arus digital,” tegasnya.
BINDA NTB juga menekankan peran media sebagai sarana peringatan dini, khususnya dalam menghadapi dinamika cuaca ekstrem dan potensi gangguan kamtibmas.
“Perubahan cuaca sangat cepat. Peran media dalam menyampaikan peringatan dini menjadi sangat penting untuk keselamatan masyarakat,” katanya.
Ia menegaskan bahwa sinergi dengan media bukan dimaksudkan untuk mengintervensi kerja jurnalistik, melainkan membangun kolaborasi dan kesamaan visi dalam menjaga stabilitas daerah.
“Media adalah salah satu pilar penting pembangunan NTB. Kami ingin membangun kolaborasi, bukan mengendalikan,” pungkasnya. (era)

