ANGKA kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Mataram masih tergolong tinggi. Hingga November 2025, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram mencatat sedikitnya 115 laporan kasus kekerasan. Jumlah tersebut diprediksi masih akan meningkat hingga akhir tahun.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Mataram, Ni Luh Arini, menilai tingginya kasus kekerasan tersebut menunjukkan lemahnya perlindungan di lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak. Dari ratusan laporan yang masuk, kasus kekerasan terhadap anak menjadi yang paling dominan, terutama kekerasan seksual. Ironisnya, sebagian besar pelaku merupakan orang-orang terdekat korban, seperti orang tua, kakek, paman, maupun anggota keluarga lainnya.
“Kalau melihat kecenderungannya, kasus ini lebih banyak terjadi di lingkungan terdekat. Pelakunya justru orang yang dikenal korban, seperti orang tua, kakek, atau paman,” ujarnya kepada Suara NTB melalui pesan WhatsApp, Senin (15/12/2025).
Ari, sapaan akrabnya, menegaskan, kondisi tersebut menuntut adanya upaya komprehensif yang harus dimulai dari lingkungan keluarga. Penguatan peran orang tua dinilai menjadi kunci utama dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Dengan gambaran seperti ini, perlu langkah-langkah menyeluruh, terutama penguatan peran keluarga. Orang tua harus lebih peka, lebih peduli, dan mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Menurut Ari, jumlah kasus yang tercatat sejauh ini diyakini hanya fenomena gunung es. Ia menyebut, angka yang dilaporkan kemungkinan jauh lebih kecil dibandingkan kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan.
“Seratus lebih kasus ini baru yang dilaporkan. Bisa jadi jumlah yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak,” ujarnya.
Banyak korban, lanjut Ari, memilih diam karena berbagai faktor, mulai dari rasa takut, ancaman dari pelaku, hingga anggapan bahwa peristiwa tersebut merupakan aib keluarga. Bahkan, tidak sedikit korban yang justru mendapatkan stigma sosial dari lingkungan sekitarnya.
Ia mencontohkan pengalaman kasus yang pernah terjadi di salah satu wilayah di Kota Mataram, di mana seorang anak menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri.
“Korban ini diancam oleh pelaku sehingga tidak berani melapor. Bahkan ketika kehamilannya mulai terlihat, baru diketahui bahwa dia dihamili oleh ayah kandungnya. Ironisnya, justru korban yang diusir oleh masyarakat,” ungkap Ari.
Menurut dia, kasus tersebut menunjukkan bahwa perlindungan anak tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi memerlukan keterlibatan semua pihak, termasuk orang tua, keluarga besar, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
“Tentu keterlibatan semua pihak menjadi sangat penting. Tidak hanya orang tua, tapi juga masyarakat dan lingkungan harus berani melindungi korban, bukan malah menyudutkan,” tegas anggota dewan dari daerah pemilihan Cakranegara ini.
Ari berharap ke depan ada peningkatan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan kekerasan, keberanian melapor, serta penguatan sistem perlindungan bagi korban agar mereka merasa aman dan didukung. (fit)

