Mataram (suarantb.com) – Sidang perdana kasus dugaan korupsi pengelolaan lahan Pemerintah Provinsi NTB seluas 65 hektare eks PT Gili Trawangan Indah (GTI) berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Senin (22/12/2025).
Dalam dakwaannya, penuntut umum membeberkan, terdakwa IA awalnya bertemu dengan terdakwa AA dan MK di Gili Trawangan. MK saat itu meminta IA menerima ganti rugi atas pengalihan penguasaan lahan seluas 300 meter persegi yang dikuasai dirinya.
“Berawal dari Terdakwa IA menguasai lahan Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1 Tahun 1993 milik Pemprov NTB yang berlokasi di Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara sebanyak tiga Lokasi seluas 3.436 meter persegi,” ucap Fajar Alamsyah Malo mewakili penuntut umum.
Selanjutnya, pada 2023, terdakwa AA selaku Direktur PT Ombak Buena Gili ingin mengembangkan lokasi villa miliknya. Pengembangan akan dilakukan di lahan yang telah dikuasai IA.
“Selanjutnya terdakwa menerima uang pembelian tanah seluas 300 meter persegi tersebut sebesar Rp300 juta yang ditransfer AA ke rekening milik IA,” lanjut Fajar.
Selain menjual lahan ke terdakwa IA, terdakwa IA juga melakukan perbuatan melakukan transaksi sewa dan menerima uang hasil sewa di atas lahan Hak Pengelolaan (HPL) Nomor 1 Tahun 1993 yang merupakan Aset Barang Milik Daerah milik Pemprov NTB.
Salah satu transaksi sewa dilakukan untuk usaha Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant di atas lahan seluas 2.802 meter persegi. Jaksa menyebut, sejak 2009 hingga 2035, IA menerima uang sewa dari PT Carpedian dengan total Rp4,475 miliar.
“Padahal, setelah kontrak kerja sama Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) diputus pada 16 September 2021, pemanfaatan lahan seharusnya dilakukan melalui kerja sama dengan Pemprov NTB,” jelasnya.
Namun, terdakwa tidak menyetorkan uang sewa yang diterima setelah pemutusan kontrak tersebut ke kas daerah. Jaksa menghitung, uang yang masih dikuasai terdakwa dan seharusnya menjadi hak Pemprov NTB untuk periode 16 September 2021 hingga 16 September 2024 mencapai Rp450 juta.
Selain itu, IA juga menyewakan lahan yang sama untuk usaha Hotel Beach Bungalow atau Gili Splendia Beach. Dari transaksi sewa sejak 2018 hingga 2022, terdakwa menerima uang sebesar Rp1,05 miliar. Setelah kontrak kerja sama diputus, terdakwa kembali tidak menyetorkan uang sewa periode 16 September 2021 hingga 16 September 2022 ke kas daerah, dengan nilai Rp350 juta.
“Bahwa perbuatan terdakwa IA yang menerima uang hasil sewa dan/atau biaya kerja sama untuk Hotel Beach Bungalow / Gili Splendia Beach dan Restaurant Beach Cafe/Egoiste, dan tidak menyetorkannya ke kas Daerah Pemprov NTB, telah memperkaya terdakwa Rp800 juta,” terang penuntut umum.
Lebih lanjut, IA juga didakwa menguasai fisik tiga bidang tanah milik Pemprov NTB di Gili Trawangan tanpa membayar retribusi. Dari penguasaan tersebut, jaksa menghitung kewajiban retribusi yang tidak dibayarkan mencapai Rp327 juta.
Perbuatan ketiga terdakwa menimbulkan kerugian keuangan negara Rp1,4 miliar. Nilai kerugian tersebut berdasarkan laporan hasil penghitungan kerugian keuangan negara oleh Kantor Akuntan Publik Tarmizi Achmad tertanggal 24 Oktober 2025.
Penuntut umum mendakwa ketiga terdakwa dengan dakwaan primair Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Serta dakwaan subsider, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Atas dakwaan penuntut umum tersebut, hanya terdakwa MK yang mengajukan eksepsi atau keberatan. (mit)

