Mataram (Suara NTB) – Salah satu tantangan revitalisasi bahasa daerah di sekolah yaitu bahasa ibu tidak digunakan di dalam kelas atau dalam pembelajaran. Semua pihak harus peduli dan mendorong penggunaan bahasa ibu agar pelestarian bahasa daerah dapat terus berjalan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB, Dr. H. Aidy Furqan, M.Pd., ditemui di Mataram saat acara Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang diadakan Balai Bahasa NTB pekan lalu, mengatakan, salah satu pekerjaan rumah (PR) untuk pelestarian bahasa ibu yakni penggunaan di dalam kelas, karena bahasa pengantar pendidikan adalah bahasa Indonesia. Namun, di kelas awal boleh menggunakan bahasa ibu.
Meski demikian, pihaknya tetap mengupayakan pelestarian bahasa bahasa daerah melalui muatan lokal bahasa daerah. Ia mengaku kurikulum muatan lokal sudah berjalan di SMA sederajat.
“Namun, kurikulum muatan lokal akan saya revisi untuk 2025, karena banyak masukan dari berbagai pihak,” ujar Aidy.
Menurut Aidy, dengan adanya program Revitalisasi Bahasa Daerah dari Kementerian dapat menguatkan keberadaan bahasa Sasak, Samawa, dan Mbojo di NTB. “Untuk kita lestarikan secara bersama-sama. Apalagi kita sudah punya Perda tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah,” jelas Aidy.
Provinsi NTB memiliki Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah. Aidy menjelaskan, pihaknya sejak 2018 telah memiliki kegiatan muatan lokal dalam bentuk Sabtu Budaya.
Di samping itu dengan Dewan Kebudayaan Daerah, upaya pelestarian bahasa daerah itu akan terus diupayakan. Menurut Aidy, pembelajaran bahasa daerah yang perlu dimasifkan yaitu di jenjang pendidikan dasar di bawah kewenangana pemerintah kabupaten/kota.
“Revitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan, karena jika tidak bahasa daerah bisa musnah dengan adanya pengaruh teknologi, perkawinan antar suku dan lainnya,” pungkas Aidy. (ron)