Mataram (Suara NTB) – Penerimaan pajak di wilayah Kanwil DJP Nusa Tenggara (NTB, NTT) sampai 29 November 2024 sudah mencapai Rp6,68 triliun. Atau sebesar 85,42 persen dari total target penerimaan pajak tahun 2024 sebesar Rp7,82 triliun.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan Kanwil DJP Nusra kepada media ini, Kepala Kanwil DJP Nusra, Samingun menjelaskan, penerimaan pajak tahun ini tetap on the track.
“Insya Allah sih tercapai (target). Bisa terkejar bahkan 100 persen lebih,” katanya.
Optimisnya penerimaan pajak di NTB dan NTT ini, menurut Samingun, didukung oleh konsumsi masyarakat bagus. sebagaimana dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, dipaparkan, ditengah ketidakpastian global yang masih berlanjut, kinerja perekonomian NTB tetap terjaga baik dan tumbuh 6,22% pada triwulan III 2024.
Perkembangan positif tersebut ditopang oleh terjaganya kinerja konsumsi rumah tangga dan ekspor luar negeri yang tumbuh tinggi seiring relaksasi ekspor konsentrat tembaga hingga akhir tahun. Sementara secara sektoral, akselerasi sektor pendukung pariwisata dan berlanjutnya kinerja positif sektor pertanian dan pertambangan menopang kinerja positif ekonomi NTB.
Lebih tangguhnya ekonomi NTB di tahun 2024, juga didukung oleh stabilitas sistem keuangan yang tetap solid, kondisi ini terlihat dari pertumbuhan kredit yang tetap tinggi pada kisaran target 10-12% dengan kualitas kredit yang tetap terjaga.
Sejalan dengan itu, tekanan inflasi selama tahun 2024 juga tercatat terkendali, tingginya tekanan harga komoditas pangan pada triwulan I 2024 telah berangsur turun dan kembali normal, hingga Oktober 2024 inflasi tahunan Provinsi NTB tercatat sebesar 1,44%.
“Dilihat dari pemaparan BI, konsumsi rumah tangga bagus. otomatis PPN juga bagus,” tambahnya.
Pada bagian lain, Samingun juga menjelaskan soal rencana pemerintah menaikan tarif PPN sebesar 1 persen atau menjadi 12 persen pada awal tahun 2025. Sampai dengan saat ini, Kanwil DJP Nusa Tenggara sedang melakukan simulasi dampak kenaikan PPN 1% terhadap penerimaan, karena banyaknya variabel dan faktor yang mempengaruhi penghitungan peningkatan potensi, sehingga angka pasti atas perhitungan tersebut belum muncul.
Sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah ditetapkan penyesuaian tarif PPN yang semula 10% menjadi 11% yang berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan 12% yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari DPR, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dimaksud.
Sesuai pasal 4 UU PPN, PPN dikenakan atas, penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Impor Barang Kena Pajak. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Namun demikian, pemerintah menetapkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mendukung iklim investasi. Yaitu dengan, penyerahan (jual beli) atas barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran tidak dikenakan/bebas PPN. Demikian pula penyerahan jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan juga dibebaskan dari pengenaan PPN, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung iklim investasi di Indonesia, pembebasan PPN juga diberikan atas impor dan penyerahan barang/jasa strategis tertentu pada sektor industri manufaktur, pertanian, perikanan, peternakan, kesehatan dan Pendidikan. (bul)