Mataram (Suara NTB) – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatatkan penurunan signifikan dalam tingkat okupansi hotel di wilayah tersebut. Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, mengungkapkan bahwa tingkat okupansi saat ini hanya mencapai 70 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Sekarang okupansi baru mencapai 70 persen, mungkin ini dipengaruhi oleh cuaca ekstrem dan menurunnya daya beli masyarakat. Selain itu, dampak dari Pilpres dan Pilkada juga kemungkinan berkontribusi terhadap penurunan daya beli,” kata Wolini di Mataram, Senin, 23 Desember 2024.
Wolini menjelaskan bahwa cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini turut mempengaruhi minat wisatawan untuk berkunjung ke NTB pada momen Natal 2024 dan Tahun Baru 2025. “Cuaca ekstrem berdampak pada jumlah kunjungan, yang membuat beberapa hotel tidak menaikkan harga kamar. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pendapatan,” ujarnya.
Menurut data PHRI, hotel-hotel yang terletak di lokasi strategis, seperti di tepi pantai Senggigi dan Kuta, mencatatkan tingkat okupansi yang lebih baik. Namun, untuk hotel-hotel yang berada di kawasan perkotaan, tingkat okupansi hanya mencapai 40-50 persen.
“Jika dibandingkan dengan Natal dan Tahun Baru tahun lalu, tahun ini mengalami penurunan signifikan. Pada tahun sebelumnya, pesanan kamar sudah mencapai 100 persen pada periode yang sama,” tambahnya.
Selain faktor cuaca dan daya beli, kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) juga disebutkan oleh Wolini sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi menurunnya okupansi hotel.
“Ketika kegiatan MICE dikurangi, dampaknya sangat besar. Banyak acara yang sebelumnya dijadwalkan di hotel-hotel terpaksa dibatalkan setelah pengumuman pemerintah,” jelasnya.
Sebagai langkah mitigasi, pengelola hotel berupaya menarik wisatawan dengan menawarkan diskon dan promosi. “Kami terpaksa menurunkan harga kamar, memberikan diskon, dan melakukan lebih banyak promosi. Destinasi wisata juga perlu dibenahi agar daya tariknya meningkat,” imbuh Wolini.
Namun, langkah-langkah ini tidak tanpa tantangan. Wolini juga menyoroti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 yang berdampak pada operasional hotel. “Dengan kenaikan UMP, tentu akan ada penyesuaian jumlah karyawan. Biasanya hotel mempekerjakan 20 orang, namun kini kami terpaksa mengurangi menjadi 10 orang. Ini adalah dilema yang harus dihadapi,” paparnya.
Ke depan, PHRI bersama para pengelola hotel akan terus mengevaluasi strategi operasional dan pemasaran. “Kami perlu menyepakati program-program baru yang lebih efektif. Jika harga kamar dinaikkan sementara jumlah wisatawan sedikit, itu justru akan kontraproduktif. Lebih baik menetapkan harga yang terjangkau agar tetap menarik wisatawan,” tutup Wolini.
Penurunan okupansi hotel ini menjadi tantangan besar bagi sektor pariwisata NTB, yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung perekonomian daerah. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mengembalikan daya tarik wisata NTB, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi. (bul)