Mataram (Suara NTB) – Kementerian Komunikasi dan Digital (Digital) akan menerbitkan aturan anak-anak memiliki akun pada media sosial (medsos). Larangan ini didasari dengan anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan medsos, sehingga mengurangi belajar dan istirahat. Selain itu, banyak dampak negatif lainnya yang ditimbulkan dengan anak-anak yang masih diberikan kebebasan memiliki akun di medsos.
Adanya rencana pemerintah pusat menerbitkan aturan anak-anak memiliki akun medsos ini mendapat tanggapan Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mutiara Sukma dr. Hj. Wiwin Nurhasida. Didampingi Psikolog RSJ Mutiara Sukma, Helen Citra Dewi, M.Si., Psikolog, Wiwin Nurhasida, menjelaskan, jika generasi Z dan generasi alfa merupakan generasi yang lahir di era teknologi.
Menurutnya, anak-anak ini sering disebut sebagai digital natives yaitu generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, sehingga mereka sangat akrab dengan teknologi. ‘’Oleh karena itu, hidup berdampingan dengan teknologi adalah hal yang terjadi secara alamiah,’’ terangnya dalam keterangannya pada Suara NTB, Jumat, 7 Februari 2025.
Diakuinya, perkembangan teknologi memiliki dampak positif sekaligus dampak negatif yang dirasakan, apalagi jika tidak digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. ‘’Mungkin dengan banyaknya kasus anak-anak yang mengalami dampak negatif dari perkembangan teknologi ini membuat ide untuk melarang penggunaan media sosial mencuat,’’ terangnya.
Meski demikian, pihaknya menanyakan apakah tepat melarang penggunaan medsos bagi anak? Menurutnya, melarang penggunaan medsos pada anak akan menimbulkan dampak langsung pada anak, apalagi ketika mereka sudah terbiasa aktif bermedia sosial. Dalam hal ini, mereka bisa mengalami kekecewaan, rasa jenuh, karena terbatasnya kegiatan offline hingga tantrum ketika kelekatan pada medsos sudah sangat erat.
Jika dilihat dari sudut padang positif, tambahnya, bermedia sosial sebenarnya dapat membantu anak mengenal dunia lebih dekat yang secara geografis tampak jauh, menjalin hubungan pertemanan, meningkatkan pengetahuan, kreativitas hingga meningkatkan rasa percaya diri. Asalkan, dengan catatan medsos digunakan sesuai aturan, bijak, bertanggung jawab dan adanya pendampingan dari orang tua.
‘’Untuk itu, dibandingkan melarang, lebih baik membuat batasan yang jelas dan bertanggung jawab. Dan jika mau membatasi, maka diharapkan kita sebagai orang tua dapat mendampingi anak dan menyiapkan alternatif kegiatan lainnya yang tetap bisa mengasah perkembangan anak,’’ tambahnya.
Pihaknya berpendapat, anak-anak ini sebaiknya bukan dihentikan menggunakan medsos atau aktivitas lainnya di ranah online, tetapi dibatasi dengan aturan digital yang tepat. Anak-anak harus diberikan aturan main dalam menggunakan gadget, seperti do and dont’s-nya, durasi screen time-nya, aturan wilayah bebas gawai dan aturan lainnya.
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psyhiatry (2022), ujarnya, anak usia 6-17 tahun boleh memiliki screen time selama 2 jam atau kurang untuk kebutuhan rekreasi per weekday. “Rekreasi” di sini merujuk pada aktivitas online, seperti bermedia sosial, bermain game atau hiburan lainnya sesuai usia.
Selain itu, ujarnya, anak-anak diharapkan memiliki aktivitas sehat dan positif lainnya dengan lingkungan sekitarnya. Anak-anak juga harus diedukasi dampak positif dan negatifnya, serta risiko dan tantangan yang akan mereka temui di medsos, seperti adanya isu kekerasan seksual di ranah online dan kejahatan online lainnya. ‘’Dengan tahu, diharapkan menjadi lebih waspada dan berhati-hati,’’ terangnya.
Begitupun dengan orangtua yang harus dibekali dengan pengetahuan digital parenting karena banyak orang tua yang tidak paham tentang dunia digital ini dan dampaknya pada anak. Orang tua harus tahu aturan, riisiko, dan segala hal berkaitan dengan dunia digital dan pengasuhannya.
Namun, sekarang ini orang tua justru menjadikan teknologi ini untuk mempermudah dan menjadi alternatif pengasuhan agar anak “anteng”. Banyak juga anak-anak yang lebih pintar dibandingkan orang tua dalam dunia digital, sehingga sering ditemukan komentar di mana anak-anak “membohongi” aktivitas mereka di ranah online dari orang tuanya, karena ketidaktahuan orangtua.
‘’Ingat, anak-anak tergantung pada pola pengasuhan juga. Orang tua diharapkan dapat bertanggung jawab pada anak baik di dunia online atau offline dan menjadi sahabat paling dekat bagi anak,’’ ujarnya.
Untuk itu, pihaknya melihat kebijakan pelarangan media sosial tampak kurang efektif, jika tidak dibekali dengan aktivitas positif lainnya yang dapat diakses anak di dunia nyata. Selain anak yang harus disiapkan untuk menjadi netizen yang bijak, orang tua juga perlu meningkatkan kemampuan orang tua dalam mendampingi anak di ranah online melalui keterampilan digital parenting,’’ tandasnya. (ham)