Tanjung (Suara NTB) – Perubahan status tenaga honor menjadi Pegawai Pemda dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dinilai tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Ruang yang diberikan pemerintah pusat dengan hanya mengakui 3 status pegawai yakni ASN, PPPK penuh waktu dan PPPk paruh waktu, seolah mengharuskan bahwa seluruh tenaga honor harus diakomodir sekaligus.
“Kita ingin semua pihak memiliki persepsi yang sama terhadap keberadaan status honor menjadi PPPK (penuh/paruh waktu). Bahwa perubahan status itu sangat bergantung pada kemampuan keuangan daerah,” ungkap Ketua Fraksi Demokrat – DPRD Lombok Utara, Ardianto, SH., Senin, 10 Februari 2025.
Ia menjelaskan, pemerintah pusat memberi ruang pengangkatan PPPK (penuh waktu/paruh waktu) sesuai dengan formasi yang diberikan pusat atas usul kepala daerah. Pada proses ini, tentu tidak semua tenaga honor dapat diakomodir secara serentak. Dikarenakan usulan oleh daerah disesuaikan dengan formasi yang diberikan pemerintah pusat maupun kemampuan keuangan daerah.
Pada pemerintahan mendatang, Ardianto ikut menegaskan bahwa sesuai ketentuan saat ini, Ppemerintah daerah ke depan tidak akan menyediakan porsi untuk tenaga honor daerah karena statusnya akan diubah menjadi PPPK (penuh waktu atau paruh waktu).
Namun demikian, ia meminta agar masyarakat dapat memahami status tenaga honor daerah yang berlaku saat ini. Bahwasanya. SK tenaga honor tidak melibatkan Bupati sebagai penandatangan SK. Tetapi, SK ditandatangani oleh Kepala-kepala OPD selaku pengguna sumber daya.
“Mereka dikontrak sesuai kebutuhan OPD, artinya kalau tidak dibutuhkan kemudian SK tidak diperpanjang oleh OPD, tidak ada masalah,” ucapnya.
Kendati demikian, dirinya bersyukur status tenaga honor yang jumlahnya cukup banyak dengan masa pengabdian yang lama ini, menjadi isu nasional dan mendapat atensi pusat. Para honorer diberikan ruang sesuai regulasi untuk masuk sebagai database BKN yang memungkinkan baginya untuk melamar pada formasi PPPK. Hanya saja, pada prosesnya sambung Ardianto, daerah tentu tidak bisa mengakomodir seluruh tenaga kontrak karena terbatasnya formasi pusat dan limitnya anggaran APBD.
“Sehingga kalau ada yang mengatakan saya mengabdi sudah 15 tahun, 20 tahun tapi tidak lulus, harus dipahami, kelulusan itu tidak ditentukan oleh lamanya pengabdian, tetapi kompetensi melalui seleksi tes,” jelasnya.
Pun demikian dengan dinamika yang berkembang saat ini – dimana tenaga honor belum menerima gaji sejak Januari namun masih aktif bekerja, politisi Demokrat ini menjawab lugas. Kendala gaji tidak hanya dialami oleh tenaga honor daerah, tetapi juga pejabat eksekutif dan anggota DPRD KLU pun mengalami hal yang sama, yakni belum menerima gaji sampai hari ini. Kendala yang dialami umum terjadi di setiap awal tahun anggaran.
Ia mengajak kepada semua tenaga honor atau tenaga kontrak OPD yang masih bekerja saat ini untuk mengikuti mekanisme yang ada. Pemda diyakininya masih harus menunggu mekanisme yang ditentukan oleh pusat, khusunya menyangkut formasi yang disetujui. “Yang lulus PPPK tahap I juga belum ada SKnya, karena semua berdampak pada keuangan daerah, ” ujarnya.
Andaikata kemampuan keuangan daerah hanya mampu menyerap 70 persen dari total tenaga honor daerah, apakah sisanya akan diberhentikan, Ardianto, menegaskan tidak diberhentikan. Namun, kalau mereka merasa rugi akan berhenti sendiri. ‘’Kalau capek. Karena Pemda jelas tidak bisa mengatasi semua, apalagi semua ngotot, marah, ya mundur saja,” demikian Ardianto. (ari)