LONJAKAN harga cabai acap kali terjadi karena merosotnya produksi akibat kondisi cuaca. Tanaman cabai merupakan jenis tanaman hortikultura yang tidak membutuhkan terlalu banyak air. Ketika hujan mengguyur tanaman cabai yang sedang berbuah, maka banyak yang mati.
Kondisi inilah yang dialami petani cabai di Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Melihat fenomena tersebut, maka satu-satunya solusi yang paling efektif adalah menghadirkan teknologi green house dalam budidaya cabai.
Penggunaan green house ini disarankan Champion Cabai Lombok yang juga petani serta pebisnis cabai, H. Subhan.

Kepada Ekbis NTB saat ditemui di lokasi tempatnya budidaya cabai, Desa Kerongkong, Kecamatan Suralaga, Kamis, 6 Maret 2025, mengakui sudah lama menyarankan pada pemerintah agar memberikan petani bantuan green house untuk budidaya cabai. Menurutnya, cara itulah paling ampuh untuk menjaga stabilitas produksi.
Penggunaan green house ini lebih mudah meningkatkan intensitas produksi cabai. Produksi cabai akan tetap terjaga, sehingga tidak akan terjadi lonjakan harga. “Tiga tahun lalu saya sudah sampaikan ke beberapa pihak, termasuk ke Bank Indonesia agar memberikan bantuan green house,” tuturnya.
Pengalamannya menggunakan green house selama ini terbukti bisa terus menjaga produksi cabai tidak terganggu akibat serangan cuaca. Diatas lahan seluas 20 are miliknya, terlihat tanaman cabai H. Subhan ini mulai berbunga. Katanya lebaran ini, ia sudah mulai panen perdana.
Pembangunan green house dengan teknologi pengairan menggunakan sprinkel ini membutuhkan biaya Rp 500 juta. Green housenya itu katanya bisa tahan bertahun-tahun.
Dibandingkan dengan lahan 2 ha, produksi cabai green house di atas lahan 20 are itu diyakini jauh lebih besar. Pasalnya, tanaman cabai di bawah lindungan green house ini bisa lebih tahan lama. Usia cabai bisa sampai satu tahun. Pastinya, panen akan jauh lebih banyak.
Investasi yang dibutuhkan diakui cukup besar. Akan tetapi, penggunaan green house untuk tanam cabai ini tidak akan membuat petani merugi. Dalam kurun waktu satu kali musim tanam saja, modalnya dipastikan bisa kembali.
Biaya produksi pasti akan jauh lebih hemat dibandingkan penanaman di lahan terbuka. “Tantangan utama tanaman cabai ini adalah air hujan, saya ketika tanam beberapa waktu lalu digempur air hujan, tanamannya langsung mati,” imbuhnya.
Muhammad Sulhi, petani cabai tradisional di Subak Lendang Mudung Kecamatan Pringgabaya mengakui susahnya budidaya cabai di tengah cuaca ekstrem. Tidak sedikit petani merugi karena tanamannya tidak ada yang selamat.
Tanaman cabai di tengah kondisi cuaca saat ini membutuhkan perlakuan ekstra dari petani. Utamanya dari obat-obatan. Harga obat sekarang ini pun cukup mahal. Ukuran 50 mili liter satu jenis obat harganya ratusan ribu rupiah. Jenis obat-obatan yang paling banyak digunakan saat ini adalah pelindung buah agar tidak mudah rontok. Yakni dibutuhkan bahan obat-obatan yang mengandung perekat.
“Jenis obat-obatan ini pun tidak satu. Fungisida, insektisida, herbisida semua kita gunakan,” demikian ucapnya.
Berbagai jenis penyakit menyerang tanaman cabai. Selain bunga rontok, ketika sudah berbuah pun banyak yang membusuk. Daunnya menjadi layu dan lama kelamaan mati.
Plt Kepala Dinas Pertanian Lotim, Lalu Fathul Kasturi ketika dikonfirmasi terpisah mengakui beratnya aktivitas budidaya cabai dilakukan petani selama musim hujan.
Penggunaan green house katanya memang cukup efektif. Karenanya Distan Lotim mencoba memberikan bantuan kepada kelompok tani dengan harapan bisa mempertahankan kualitas produksi. Hanya saja jumlahnya sekarang ini masih terbatas. “Kita baru bisa berikan di 15 titik, satu titik untuk 5 are,” sebutnya.
Mamiq Kasturi, sapaan akrab Plt Kadistan ini menambahkan, petani di Kabupaten Lotim mulai menanam cabai pada Oktober 2024 lalu. Luas areal tanam dicatat 193,9 hektare (ha). Bulan November 171,1 ha. Desember 224,3 ha. Laporan terakhir bulan Januari 421,5 ha.
Rata-rata produktivitas lahan pertanian cabai di Lotim bisa tembus 4 ton perketar. Estimasi panen minimal 7 kali dalam satu musim tanam.
Mengingat perkembangan cuaca, tanaman cabai ini banyak yang rusak. Serangan virus layu pusarium paling banyak terjadi. Kondisi inilah yang menyebabkan produksi cabai merosot. “Jadi bukan karena gagal panen, tapi produksi yang berkurang,” tegasnya lagi.
Penurunan hasil produksi cabai Lotim ini bisa mencapai 50 persen dari hasil panen. Situasi lonjakan harga terjadi saat ini dinilai tidak mengenal daerah sentra produksi. Pasalnya, lonjakan harga cabai ini terjadi secara nasional.
Harga cabai fluktuatif tergantung pasar induk Keramat Jati Jakarta. Sejauh ini, ketika terjadi lonjakan harga di Pasar Induk Jakarta itu, langsung berdampak ke seluruh daerah. Termasuk Lotim meski dikenal sebagai sentra produksi. (rus/bul)