Mataram (Suara NTB)- Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya (outsourcing), Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja ikut jadi pembahasan di NTB. Dimana Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI menggelar Dialog Hubungan Kerja Dalam Rangka Konsultasi Publik Rancangan Perubahan PP No. 35 Tahun 2021 di Mataram Kamis 6 juni 2024 kemarin.
Dialog publik yang bertujuan untuk membahas dan menjaring masukan mengenai rancangan perubahan PP No. 35 Tahun 2021, diikuti oleh 50 peserta yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, perusahaan alih daya, perusahaan pengguna jasa alih daya, Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), bidang hubungan industrial dan pengawasan ketenagakerjaan Disnakertrans NTB, dan sejumlah pihak terkait lainnya.
Narasumber kegiatan tersebut, antara lain Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemnaker, Agatha Widianawati, Hakim Ad Hoc Hubungan Industrial Mahkamah Agung, Dr. Sugeng Santoso Pudyo Nugroho, dan Ketua Pusat Pengembangan Hukum Ketenagakerjaan Universitas Brawijaya, Dr. Budi Santoso.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kemnaker RI Dinar Titus Jogaswitani dalam pembukaannya menekankan pentingnya revisi PP No. 35 Tahun 2021, karena sektor alih daya memberikan banyak manfaat. Berdasarkan data nasional per 31 Desember 2023 yang mencatat adanya 812.038 perusahaan di Indonesia, dengan 4.563 di antaranya merupakan perusahaan alih daya yang mempekerjakan 149.229.
“Sektor alih daya memberikan manfaat besar, karena menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dan membantu meningkatkan investasi, serta pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Revisi PP No. 35 Tahun 2021 ini, lanjut Dinar, merupakan konsekuensi dari berlakunya UU No. 6 Tahun 2023 yang menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Revisi ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja alih daya serta memberikan kepastian dalam pelaksanaan usaha alih daya.
“Dialog ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi yang mengakomodir kepentingan semua pihak dengan tetap menjamin perlindungan pekerja dan keberlangsungan usaha,” tutup Dinar.
Sementara itu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi berharap perubahan peraturan ini dapat menjawab masalah konkret di lapangan dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja dan pemberi kerja.
“Pekerja dan pemberi kerja harus memberikan masukan real di lapangan agar pemerintah ada bayangan dalam membuat regulasi yang mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak,”kata Aryadi.
Aryadi menekankan pentingnya kontribusi pemikiran dari sektor industri, sehingga regulasi yang disusun relevan dan aplikatif. Ia berharap revisi PP ini bisa memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja dan pemberi kerja.
“Revisi PP ini dapat memenuhi aspek perlindungan sosial dan K3. Karena perlindungan sosial mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan berujung pada peningkatan produktivitas nasional,” tegasnya.
Terakhir, Aryadi mengapresiasi Kemnaker yang telah memilih NTB sebagai provinsi pertama dari lima provinsi yang menjadi rujukan dalam menyerap aspirasi terkait perubahan PP 35/2021.
“Terima kasih atas perhatian Kementrian Ketenagakerjaan terhadap Provinsi NTB sehingga NTB mengalami banyak peningkatan di berbagai aspek,” pungkasnya.(ris)