Mataram (Suara NTB) –Â KPU Provinsi NTB menyampaikan bantahan atas dugaan adanya perjokian dalam pelaksanaan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) pemuktahiran data pemilih di Pilkada NTB 2024. Sebagaimana temuan Bawaslu Provinsi NTB dalam pengawasannya menyebutkan ada oknum petugas Pantarlih menggunakan joki dalam melakukan coklit data pemilih.
“Jadi tidak ada praktik perjokian dalam pelaksanaan Coklit di NTB,” tegas Komisioner KPU NTB, yang juga Koordinator Divisi Data dan perencanaan, Halidy dalam Konferensi Pers Tahapan Pemutakhiran Data Pemilih Pilkada Serentak 2024, pada Jumat, 26 Juli 2024 di KPU NTB.
Halidy menjelaskan perjokian yang secara harpiah diartikan sebagai tindakan dengan sengaja dilakukan dengan meminta bantuan orang lain untuk melakukan sesuatu demi keuntungan pihak yang meminta bantuan dinilai sebagai narasi yang berlebihan. Karena fakta di lapangan tidak terjadi demikian.
Halidy merincikan sample yang menjadi temuan Bawaslu NTB yang terjadi di dua tempat yakni di Desa Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur dan di Desa Dete Kabupaten Sumbawa. Untuk kasus di Desa Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur, kata Halidy, kondisi yang terjadi sesungguhnya adalah identitas pemilih tersebut diminta oleh saudaranya, yang kebetulan saudaranya adalah petugas pantarlih dan rencananya akan dicoklit nanti setelah pulang dari kampus, dan proses itu pun tidak jadi dilaksanakan guna menghindari persoalan.
“Akhirnya diulangi proses coklit itu. Dan itu memang belum terjadi. Pengambilan KK oleh saudaranya tersebut itulah yang disampaikan oleh temen-temen sebagai perjokian. Padahal mereka ini sama-sama menjadi pantarlih dalam satu TPS”, jelasnya.
“Proses e-coklit itu sebenarnya dinamis. Begitu ada persoalan di awal sudah ada kesalahan prosedur, maka PPS langsung memerintahkan untuk dilakukan coklit ulang. Artinya bahwa semua itu terkoreksi dan terkonfirmasi. Jadi tidak ada yang lolos kesalahan-kesalahan yang terjadi di lapangan,” lanjutnya.
Kemudian untuk kasus di Desa Dete Kabupaten Sumbawa, lanjut Halidy kejadian sesungguhnya adalah pada saat coklit, Pantarlih dibantu atau ditemani oleh paman nya yang kebetulan sebagai ketua RT, Pamannya tersebut membantu untuk menempelkan stiker saja, sedangkan yang melakukan coklit tetap pantarlih tersebut.
“Tetapi karena itu menjadi sample yang disampaikan oleh Bawaslu, maka kami tetap akomodir. Proses penempelan stiker itu kami ulangi,” terangnya.
Semua itu dilalukan lanjut Halidy sebagai upaya KPU dalam membuka seluas-luasnya kepada masyarakat. Pihaknya mengapresiasi apa yang disampaikan Bawaslu sebagai sample, dan semuanya sudah diperbaiki.
Hanya saja KPU menyayangkan istilah perjokian yang digunakan dalam kasus tersebut sebagai sebuah narasi yang berlebihan. “Istilah perjokian mungkin narasinya yang terlalu anu, karena istilah perjokian yang dilakukan oknum petugas pantarlih tidak terjadi,” pungkasnya. (ndi)