Mataram (Suara NTB) – Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Nusa Tenggara (Nusra) mengusulkan dua wajib pajak (WP) untuk dikenakan tindakan penyanderaan atau gijzeling akibat tunggakan pajak yang nilainya di atas Rp100 juta. Langkah ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.
Kepala Kanwil DJP Nusra, Samon Jaya di Mataram, Rabu, 26 November 2025 mengungkapkan bahwa saat ini ada dua WP di NTB yang berkasnya sudah ditandatangani untuk proses gijzeling. Tanpa menyebut secara rinci WP dimaksud dan besaran tunggakan pajaknya.
Menurutnya, meski memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan hingga penyanderaan, DJP tetap mengedepankan pendekatan persuasif. Samon mencontohkan satu kasus di mana WP melakukan pengungkapan ketidakbenaran, yang secara aturan dendanya bisa tiga kali lipat.
“Kasus itu sudah sampai kejaksaan. Tapi karena WP kooperatif, mengakui kesalahan, dan langsung membayar kekurangannya, prosesnya bisa diselesaikan tanpa penjara,” jelasnya.
Sampai saat ini belum ada WP di wilayahnya yang benar-benar menjalani hukuman badan. Samon menegaskan bahwa selama WP kooperatif, terbuka, dan menyelesaikan kewajiban pajaknya, DJP akan memberikan ruang penyelesaian yang lebih ringan sesuai ketentuan.
“Kami juga manusia. Selama WP terbuka dan mau menyelesaikan kewajibannya, kami selalu mengedepankan dialog,” ujarnya.
Samon menjelaskan, soal target penerimaan pajak, pihaknya tetap optimis tercapai. Optimisme itu muncul karena realisasi belanja pemerintah, baik APBN maupun APBD, biasanya memuncak pada akhir tahun.
“Belanja pemerintah dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, termasuk pengadaan barang dan jasa, menjadi penyumbang signifikan penerimaan. Bahkan dana desa juga memiliki ketentuan perpajakan yang wajib dipenuhi,” jelasnya.
Samon menjelaskan, perilaku WP dalam memenuhi kewajiban perpajakan mirip dengan kurva normal—ada yang sangat patuh, ada yang belum memahami mekanisme, dan ada yang belum melaporkan kewajibannya sama sekali. Sistem perpajakan di Indonesia yang berbasis self-assessment membuat WP harus menghitung dan melaporkan sendiri kewajibannya.
“Banyak WP yang belum paham sehingga perlu edukasi melalui sosialisasi, pelatihan, dan literasi perpajakan,” katanya.
Apabila ditemukan ketidaksesuaian data atau perhitungan, DJP akan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2AD). WP kemudian diminta melakukan klarifikasi atau perbaikan.
“Kalau datanya lengkap dan sesuai, selesai. Kalau salah, kita minta diperbaiki. Yang sulit itu kalau WP tidak kooperatif,” ujarnya.
Untuk memaksimalkan pengawasan, Kanwil DJP Nusra menjalin kerja sama dengan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga instansi penegak hukum seperti imigrasi, kejaksaan, dan kepolisian. Pendekatan tersebut disebut multidoor approach.
“Kita bekerja melalui berbagai pintu, saling melengkapi. Ada nota kesepahaman dengan bupati, gubernur, dan instansi lainnya untuk memperkuat pengawasan,” demikian Samon. (bul)

