Selong (Suara NTB) – Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) kembali memukau dengan gelaran Pesona Budaya Desa yang ketujuh pada Rabu, 26 November 2025. Acara yang mengusung tema “Metu Telu Napas Harmoni di Tanah Sasak” ini berhasil menyedot perhatian dengan rangkaian prosesi adat yang penuh semarak dan sakralitas.
Kegiatan yang berpusat di Perempatan Desa Pengadangan itu terlihat sangat ramai oleh masyarakat. Dua ritual utama, Metu Telu dan Betetulak, menjadi pusat perhatian dan dijalankan dengan khidmat.
Kehadiran Bupati Lombok Timur (Lotim) H. Haerul Warisin beserta istri, Hj. Ro’yal Ain, serta Wakil Bupati H. Edwin Hadiwijaya dan istri, Hj. Mahyu, turut memeriahkan acara. Kedua pimpinan daerah tersebut bahkan turut serta secara langsung dalam prosesi ritual Metu Telu. Kemeriahan semakin lengkap dengan parade ratusan dulang (nampan berisi makanan) yang dibawa oleh warga.
Kepala Desa Pengadangan, Iskandar, menjelaskan makna mendalam di balik ritual Metu Telu. “Metu Telu ini kerap jadi perbincangan. Bukan berarti ‘waktu telu’, tapi harmoni tiga tokoh: adat, pemerintah, dan agama. Jika ketiganya bersatu, maka persatuan akan terwujud,” ujarnya.
Ia berharap melalui kegiatan ini, segala hajat masyarakat dapat terkabulkan. Iskandar juga menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati dan Wakil Bupati yang berkenan hadir langsung di tengah masyarakat.
Bupati H. Haerul Warisin, dengan semangat yang tidak surut meski diguyur hujan, menyatakan kehadirannya di Pengadangan seperti pulang kampung. “Bagi saya, hujan adalah Rahmat Allah dan saya senang dengan acara ini,” katanya.
Ia menegaskan komitmennya untuk membangun desa, salah satunya dengan menjanjikan perbaikan jalan (hotmix) di Pengadangan. Lebih jauh, Bupati menekankan bahwa Pesona Budaya bukan sekadar seremonial dan ramai dulang, tetapi upaya menanamkan moral tinggi dan komitmen melestarikan budaya.
“Budaya akan membawa keselamatan, menjaga persatuan dan kesatuan. Pemerintah setiap tahun akan mendukung kegiatan ini,” tegasnya. Dengan gaya khasnya, Bupati juga berpesan kepada Kepala Dinas Pariwisata, “Kalau tidak bisa bawa banyak bule ke Pengadangan, akan diberhentikan,” ujarnya setengah bergurau.
Ia mengakui adanya tantangan anggaran, namun menegaskan hal itu tidak menyurutkan semangat untuk mengelola dan melestarikan budaya. “Budaya jangan sampai dikaburkan. Terus laksanakan,” imbaunya.
Sementara itu, tradisi Betetulak yang dilaksanakan secara turun-temurun menunjukkan kekuatan gotong royong masyarakat. Ritual yang biasanya digelar setahun sekali pada bulan Muharram ini melibatkan prosesi membawa ribuan dulang sebagai simbol persatuan dan penyerahan diri kolektif.
Secara filosofis, Betetulak dimaknai sebagai ajakan untuk kembali ke fitrah, menyempurnakan ibadah, dan senantiasa berikhtiar kepada Sang Pencipta. Tradisi ini merupakan cerminan nyata kearifan lokal masyarakat Sasak dalam menjaga harmoni antara kehidupan sosial, budaya, dan spiritual.
Dengan suksesnya Pesona Budaya Desa Pengadangan ini, diharapkan warisan luhur nenek moyang tetap lestari dan menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat di Bumi Sasak. (rus)

