PROGRAM Jumat Belondong yang digaungkan Pemprov NTB di bawah komando Penjabat (Pj) Gubernur NTB Drs. H. Lalu Gita Ariadi, M.Si., diharapkan memberi dampak riil bagi eksistensi usaha kain (tenun dan batik) di tingkat lokal. Pasalnya, kebijakan daerah dalam mengaplikasikan penggunaan kain lokal dikalangan ASN belum sepenuhnya mengarah pada pemberdayaan produk lokal.
“Kebijakan daerah supaya lebih dimaksimalkan. Kita lihat memang ada aturan menggunakan tenun atau batik KLU, tetapi program itu kurang maksimal. Banyak ASN yang kita lihat masih menggunakan batik nasional saat bekerja,” ungkap Owner Batik Wastra Daya, Raden Winata Dharma Jaya, Minggu 22 oktober
Ia meminta, pemegang kebijakan lebih tegas dalam penekanan penggunaan batik atau tenun lokal. Pengalaman Raden Winata selama menjalankan usaha Batik Motif KLU, ia masih kesulitan dalam pemasaran. Penjualan di kalangan pejabat saja, sifatnya masih parsial. Hanya beberapa orang yang sudah
membeli produk Wastra Daya, termasuk Bupati dan Hj. Galuh Nurdiyah. “Sepertinya
kurang ada penekanan dalam kebijakan (bela beli produk lokal), pejabat instansi juga
masih lalai,” imbuhnya.
Raden Winata menambahkan, secara omset, angka penjualan bulanan kain batik lokal masih tidak signifikan dibandingkan sumber daya yang disediakan. Oleh karenanya, ia berharap, kebijakan Plt. Gubernur NTB dengan Jumat Belondong memberi ruang bagi keberlang sungan usaha kain lokal, termasuk Lombok Utara.
Pun demikian, dalam implementasi Jumat Belondong, tidak harus mengoptimalkan
status bahan kain dari satu jenis saja, yaitu tenun. Dalam pemakaiannya, terdapat inovasi yang memadukan bahan kain tenun dengan batik lokal.
Pertimbangan ini tidak lepas dari harga kedua bahan kain yang jomplang. Harga sepotong kain batik Wastra Daya dipatok terendah Rp 170 ribu sampai tertinggi Rp 300 ribu. Namun untuk bahan tenun, harganya lebih tinggi berkisar antara Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta lebih per potong. Tingginya harga ini di maklumi karena proses pembuatan tenun membutuhkan waktu yang lama.
“Untuk sementara ini, program Jumat Belondong belum ada dampaknya ke kita. Kunjungan belum ada, begitu pun pembelian kain,” tambahnya.
Satu-satunya orderan terakhir yang dilayani oleh Winata, adalah saat penyelenggaraan Moto GP kemarin. Dimana kain batik Wastra Daya disewa sebanyak 20 lembar.
Sementara pengrajin dan pengusaha tenun Pringgasela Kabupaten Lombok Timur (Lotim) menyambut baik program yang diterapkan Pj Gubernur.
Maliki, salah satu pengusaha tenun Pringgasela kepada Suara NTB, Sabtu (21/10) lalu menjelaskan para penenun sudah banyak kreasi dan inovasinya membuat sarung tenun. Motifnya pun sekarang sangat beragam. Selanjutnya, soal kualitas dipastikan menjadi hal utama. Harga tenun Pringgasela ini sekarang beragam, mulai dari Rp 400 ribu sampai dengan Rp 1 juta.
Soal harga ini diyakini tidak lah jadi soal karena ada jaminan kualitas. Pejabat yang menggunakan sarung tenun saat berjumpa dengan masyarakatnya ini jelas akan terasa berbeda dan akan lebih mudah membaur dibandingkan dengan menggunakan pakaian seragam yang dilengkapi pangkat.
Bagi masyarakat Pringgasela sendiri kata Maliki, penggunaan sarung tenun untuk Salat Jumat, ikuti pengajian atau kegiatan agamaan lainnya ini sudah turun temurun, masing-masing keluarga penenun bahkan secara khusus membuatkan sarung tenun untuk suami dan anaknya khusus untuk digunakan ibadah.
Motif tenun sarung Pringgasela sekarang ini sangat beragam dan lebih menarik. Hal ini juga menjadi salah satu tambahan daya tarik dari para pengunjung dan wisatawan yang belanja kain tenun Pringgasela. Ditanya soal geliat bisnis art shopnya, Maliki menyebut pasca Pandemi Corona Virus Disease beberapa tahun terakhir ini memang sudah terlihat ada perkembangan. Kunjungan wisatawan pun mulai ramai.
Hal ini diakui berdampak pada semangat berusaha pada penenun Pringgasela. Desa Wisata Pringgasela sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan asing maupun domestik. Harapannya, pemerintah tetap memberikan dukungan positif bagi tumbuh kembang para pelaku usaha tenun di Pringgasela. Seiring dengan semangat penenun yang kembali bangkit maka diharap juga bisa berujung ekonomi masyarakat juga semakin membaik.
Harapan senada disampaikan pelaku UMKM tenun lokal Kota Bima, Yuyun. Menurutnya, program Jumat Belondong yang mewajibkan
penggunaan sarung produk lokal setiap hari Jumat, bakal efektif jika ditunjang berbagai event dan bazar khusus menjual produk lokal. “Kalau sekedar program takkan efektif, harus ditunjang berbagai event dan bazar,” katanya akhir pekan kemarin.
Menurut dia, sarung produk lokal seperti tembe nggoli yang dikenakan saat Jumat Belondong belum tentu dibeli satu kali dalam seminggu. Mengingat jangkauan harganya yang relatif cukup mahal, jika dibandingkan harga sarung pabrikan.
“Sarung hanya dibeli sekali, tidak sama seperti baju. Kalau jumatan hanya pakai sarung yang sama, beda dengan baju yang harus diganti setiap hari,” ujarnya.
Khusus di Kota Bima sendiri, daya beli tembe nggoli juga masih berkurang. Yang membeli hanya tamu-tamu dari luar, serta warga dari kalangan menengah ke atas. Sementara warga umum cuek lantaran menilai harganya
masih mahal.
“Daya beli masih kurang, peminat tembe nggoli masih sedikit karena harganya yang
mahal. Alternatifnya dijual, melalui arisan,” katanya.
Ia mengaku tembe nggoli dijual mahal juga ada penyebabnya, seperti proses produksinya masih dilakukan secara manual atau tradisional. Selain itu, harga benang yang mahal hingga biaya operasional yang cukup tinggi.
“Kendalanya juga tembe nggoli cepat luntur,” meski ada keunggulan dipakai saat musim panas terasa dingin. Serta musim dingin terasa panas,” bebernya.
Penenun Tembe Nggoli di Kelurahan Ntobo Kecamatan Raba Kota Bima, Marweli mengaku usaha tenunan sudah dijadikan profesi turun temurun, bukan lagi sebagai usaha sampingan. Bahkan sejak SD, anak sudah bisa menenun dan menghasilkan tenunan.
“Meski ditenun sesuai pesanan, tenunan nggoli bisa diproduksi dalam satu, atau
dua hari. Bahkan sampai satu minggu. Tergantung motifnya,” katanya.
Ia mengaku tenunan nggoli yang diproduksi terbagi dua jenis. Yang pertama tenunan untuk bahan pembuatan sarung dengan harga kisaran antara Rp200 ribu sampai
Rp300 ribu per lembar. Sementara tenunan untuk baju kisaran harganya Rp450 ribu sampai Rp700 ribu per lembar. “Kendala yang dihadapi bukan pada pembuatan. Tapi penjualan hingga pemasaran,” katanya.
Untuk itu, Marweli berharap pemerintah bisa memperbaiki atau membenahi berbagai aspek, seperti membangun tempat khusus untuk promosi, sehingga tembe nggoli
lebih dikenal luas dan penjualan terus mengalami peningkatan.
“Selain itu, memberikan pelatihan kepada penenun khusus marketing (pemasaran). Di samping memperbanyak event dan bazar di daerah,” harapnya. (ari/rus/uki)