Mataram (Suara NTB)- Tak banyak dokter di Indonesia yang memiliki kesempatan untuk menjadi relawan di daerah konflik. Dari segelintir orang itu, ada nama dr. Fahmi Anshori, SpOT. Seorang dokter spesialis ortopedi dan traumatologi asal NTB. Ia ikut terlibat sebagai relawan tim medis Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) di Rafah Jalur Gaza, Palestina bulan Maret – April 2024. Kini, dr. Fahmi sudah berada di Mataram. Ia telah menuntaskan misinya sebagai relawan di wilayah paling berbahaya di dunia selama 17 hari. Relawan medis ini berhasil melewati tantangan yang menegangkan di Gaza, sebuah daerah yang sedang dilanda peperangan sejak bulan Oktober 2023 lalu. Sebagian orang menyebut, di sana sesungguhnya tak terjadi peperangan, melainkan pembantaian dan genosida yang dilakukan oleh militer Israel ke masyarakat sipil. Kepada Suara NTB, dr. Fahmi bertutur, ia sudah mulai bercita-cita ingin menjadi relawan di Gaza sejak 14 tahun yang silam. Misi kemanusiaan ke daerah paling berbahaya itu tak hanya dibutuhkan semangat, namun semua aspek harus dipersiapkan dengan matang. Semua persiapan yang dibutuhkan sudah dilakukan jauh-jauh hari, sehingga misi kemanusiaan ke Gaza telah terlaksana. “Hampir 14 tahun yang lalu saya termotivsi ingin membantu Gaza. Alhamdulillah cita-cita itu telah tercapai,” kata dr. Fahmi, Rabu 17 April 2024 .
Ia mengatakan, persiapan masuk ke Gaza sudah dimulai sejak bulan November 2023 lalu. MER C sudah melakukan seleksi tim relawan medis sejak jauh-jauh hari. Meski persiapan sejak tahun lalu, namun celah masuk ke Gaza baru muncul di bulan Januari – Februari 2024 lalu melalui pintu WHO. “Kemudian dipanggil lagi relawan yang bisa berangkat, muncullah kami. Total ada 11 orang,” ujarnya. Memasuki jalur Gaza penuh dengan lika-liku dan tantangan yang berat. Sebelum berangkat ke sana, tim terlebih dahulu singgah di Kairo Mesir selama tiga minggu. Mereka menunggu di Masjid guna memastikan semua persiapan telah dilakukan secara matang. Di masa menunggu ini menjadi ujian ketahanan mental, ujian kesabaran dan adaptasi kultur yang berbeda serta adaptasi cuaca yang berbeda pula.
Ia menuturkan, perjalanan dari Kairo Mesir ke perbatasan Rafah membutuhkan waktu 6 jam. Dalam perjalanan terdapat 7 military check point, dua diantaranya semua tim turun dari kendaraan untuk menjalani proses scan. Tim melewati daerah gurun Sinai yang tak sinyal komunikasi. Jika terjadi sesuatu yang buruk, itu akan menjadi risiko yang ditanggung sendiri. Dari 11 orang tim tersebut, ada 48 koper yang dibawa yang terdiri dari barang-barang pribadi, obat-obatan, alat-alat kesehatan tulang, orthopedi, makanan, dan perlengkapan lainnya. Sesampai di Gaza tanggal 18 Maret 2024, ia bertugas di RS Abu Yusuf An Najjar, dan dua rumah sakit lainnya di Rafah dan Khan Younis. Tantangan terbesarnya adalah seringnya lampu padam saat melakukan operasi pasien. Namun demikian, kegiatan operasi dilakukan dengan peralatan dan kondisi yang ada. Bahkan seringkali, lampu penerangan saat operasi berasal dari lampu senter HP.
“Selama bertugas, kami dan tim menangani sebanyak 43 pasien,” katanya. Kendala medis di Gaza sungguh luar biasa. Di tengah keterbatasan pasokan solar ke Gaza, tim medis harus bekerja ekstra karena banyaknya pasien yang membutuhkan bantuan. Yang banyak dibutuhkan seperti obat-obatan, peralatan, air, makanan, solar dan kebutuhan dasar lainnya. Supply chain yang terbatas di Gaza karena sangat tergantung donasi masyarakat luar. “Kita sering nyalain HP untuk penerangan saat mati lampu. Kita tunggu genset nyala. Sambil nunggu, kita jahit pasien. Apa yang bisa perbuat, itu yang kita lakukan,” tuturnya.
Kondisi Gaza memang masih sangat memprihatinkan. Bom meledak setiap dua atau tiga jam. Di hari-hari pertama bertugas di sana, rawa was-was dan takut ada, namun bekalangan, semua suara bom yang meledak di luar rumah sakit sudah biasa terdengar.
“Setiap ada bom meledak, tak ada yang takut, kadang (tim doktrer) senyum, itu yang membut kita tetap semangat,” tuturnya.
Yang ia kagum dari masyarakat Gaza yaitu mereka tak menampakkan rasa takutnya dengan suara dentuman bom yang nyaris tiap jam terdengar. Meskipun banyak diantara mereka yang meninggal dunia dan luka-luka. Untuk itulah, ia meminta kepada masyarakat agar tetap memberikan dukungan kemanusiaan untuk Gaza. “Saya tak pernah lihat yang lebih parah dari Gaza,” katanya. Sebagai informasi, dr. Fahmi Anshori yang menjadi salah satu relawan tim medis MER-C di Gaza, merupakan dokter spesialis ortopedi dan traumatologi (bedah tulang). Selain itu, ia termasuk anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Mataram. Ia melayani pasien di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram, Rumah Sakit Mandalika Provinsi NTB, dan Rumah Sakit Metro Medika. Dokter Fahmi juga pernah terlibat kegiatan kemanusian lain, yakni saat gempa Lombok 2018. Waktu itu, ia tergabung dalam tim bedah gabungan, yang terdiri dari lembaga kemanusiaan MER-C, PABOI Jaya (Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Ortopedi dan Traumatologi), dan Departemen Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo.(ris)

