Mataram (Suara NTB) – Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram mengingatkan masyarakat NTB agar tidak menggampangkan membeli dan mengonsumsi antibiotik secara bebas, tanpa rekomendasi dokter. Menurut Kepala BB POM di Mataram, Yosef Dwi Irwan pada kegiatan Forum Konsultasi Publik yang digelar di Mataram, Selasa 11 juni 2024. bersama seluruh stakeholder terkait disampaikan, antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri dapat dibeli secara mudah. Bahkan tanpa menggunakan resep dokter.
“Kayak Amoxilin, kalau beli perlu pake resep gak? Terkadang, masyarakat ini saking mudahnya membli tanpa resep tetap diberikan. Antibiotic ini kalau sering dikonsumsi akan terjadi resistensi antimikroba. Kedepannya tidak lagi mempan untuk mengatasi infeksi, karena bakterinya sudah tidak mempan. Karena tidak semua penyakit itu disebabkan oleh antimicrobe. Jangan sedikit-sedikit beli obat antibiotik, harusnya dengan resep dokter apakah memang layak diberikan antibiotic,” kata Yosef.
Yosef menambahkan, AMR (Anti Nicrobial Resistance) atau resistensi antimikroba adalah kejadian ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan, sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah dan menyebabkan kematian.
Kejadian AMR menjadi salah satu isu kesehatan global yang menjadi concern banyak pihak terutama WHO. Data penelitian terbaru yang diterbitkan jurnal The Lancet di tahun 2022, menyebutkan bahwa pada tahun 2019 menunjukkan bahwa pada tahun 2019, AMR menyebabkan kematian pada 4,95 juta jiwa, dengan 1,27 juta diantaranya disebabkan langsung oleh AMR.
“Kematian akibat AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria. dan di tahun 2050 mendatang, WHO memprediksi jumlah kematian tersebut naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun. Boleh dikatakan AMR merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan dan risiko keamanan kesehatan global saat in silent pandemic yang dapat membunuh dalam keheningan,” tambahnya.
Salah satu faktor pemicu meningkatnya kejadian resistensi antimikroba dikarenakan penggunaan antimikroba yang tidak bijak pada manusia dan hewan. Penggunaan antibiotika yang ekstensif, disebabkan antibiotika beredar secara bebas, baik karena isu akses (kemudahan masyarakat memperoleh antibiotika) maupun isu bisnis (penjualan antibiotika tanpa resep mendominasi omset pelaku usaha di sarana pelayanan kefarmasian) “Penyerahan antimikroba harus diserahkan hanya dengan menggunakan resep dokter dan disertai edukasi kepada masyarakat untuk menghabiskan antimikroba yang diresepkan atau segera kembali ke dokter jika tidak ada perbaikan terhadap penyakit,” ujarnya.
“Karena itu, kita sedang menggandeng pemangku kepentingan seperti ikatan apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Bidan, Perawat, untuk bersama-sama mencegah agar antibiotic ini digunakan secara proporsional. Tidak boleh sembarangan. Karena kalau setiap masyarakat bisa beli tanpa resep dokter, dan ini yang saat ini sedang terjadi, khawatirnya dampaknya akan menjadi pandemic, dan itu juga sedang terjadi sebenarnya,” ujarnya.
Ada satu kasus, orang yang sudah operasi, ndak bisa sembuh-sembuh. Luka menganganya ndak sembuh-sembuh. Karena antibiotik apapun ndak mempan-mempan. Kumannya sudah kebal, itu yang dikhawatitkan. Nah, mengonsumsi antibiotic itu juga tidak boleh setengah-setengah, hanya sehari dua hari sudah enakan, terus ndak lagi diminum. Itu ndak boleh, harus sampai habis,” tambahnya.
Lantas bagaimana cara mengendalikan atau melawan resistensi antimikroba? BBPOM intensif mengedukasi masyarakat dengan 4T. Tidak membeli antimikroba tanpa resep dokter (untuk tujuan swamedikasi). Teruskan pengobatan dengan antimikroba yang diresepkan walaupun kondisi sudah membaik. Tidak membuang antimikroba yang rusak atau kedaluwarsa sembarangan. Tegur dan laporkan jika mengetahui ada pihak atau sarana lain yang menjual antimikroba sembarangan atau tanpa resep dokter.(bul)