Mataram (Suara NTB) – Kebijakan pemerintah pusat untuk menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) masih menjadi pro-kontra. Aturan ini dinilai akan berdampak langsung kepada rumah sakit, terutama potensi akan turun kelas.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram, dr. Hj. NK. Eka Nurhayati menjelaskan, pada prinsipnya manajemen di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram, telah siap menerapkan kelas rawat inap standar (KRIS) yang diatur oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, pelaksanaaan teknis serta premi yang dibayarkan perlu diperjelas. Saat ini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih menerima iuran dengan sistem kelas, sehingga aturan ini akan disinkronkan. “Regulasi ini masih dibahas karena BPJS masih menerima iuran dengan sistem kelas,” terang Eka.
Eka yang juga Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Provinsi NTB menegaskan, pihaknya hanya sanggup menerapkan KRIS tidak secara keseluruhan atau hanya untuk satu ruang rawat inap saja.
Pasalnya, aturan itu akan berdampak pada kurangnya jumlah tempat tidur untuk pasien serta berpotensi terjadinya penumpukan pasien di ruang instalasi gawat darurat. “Kalau secara menyeluruh tidak siap,” ujarnya.
Ia bersyukur kamar rawat inap kelas III sesuai dengan standar yakni, kamar mandi di dalam dan kasur sesuai standar dalam aturan KRIS tersebut. Untuk mengubah ruangan dinilai tidak mudah.
Eka menegaskan, penerapan KRIS berpotensi merugikan rumah sakit karena akan banyak turun kelas akibat kekurangan kamar. “Saya akan rugi dan banyak rumah sakit turun kelas,” tegasnya.
Pihaknya akan melihat perubahan dalam aturan tersebut melalui uji coba yang akan diberlakukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan itu diharapkan memberikan keuntungan positif bagi rumah sakit.
Terdapat 12 kriteria standarisasi baru yang harus dipenuhi pihak RS dalam implementasi KRIS. Yaitu, pertama, komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi. Kedua, ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal enam kali pergantian udara perjam. Ketiga, pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur.
Kempat, kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur. Kelima, adanya nakes per tempat tidur. Keenam, dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20-26 derajat celcius. Ketujuh, ruangan terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit.
Kedelapan, kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter. Kesembilan, tirai atau partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung. Kesepuluh, kamar mandi dalam ruang rawat inap. Kesebelas, kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas. Terakhir, outlet oksigen. (cem)