Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB mulai tahun 2024 ini memberikan atensi terhadap pembangunan rendah karbon dan beketahanan iklim di sektor pertanian. Hal ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari susbtansi Rencana Pembangunan Daerah (RPD) tahun 2024-2026.
Kepala Bappeda NTB, Dr.Ir H. Iswandi M.Si mengatakan, karena konsep pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim di sektor pertanian tergolong baru, maka pihaknya mengajak Dinas Pertanian untuk betul-betul memberi perhatian pada pembangunan rendah karbon berketahanan iklim pada sektor pertanian. Terlebih perubahan iklim sangat berdampak pada timbulnya hama, banjir, kekeringan dan lainnya.
“Inilah faktor risiko yang harus kita antisipasi untuk menjaga ketersediaan pangan kita di daerah,” kata Iswandi aat memberi pemaparan dalam kegiatan Diseminasi Laporan Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2024 yang berlangsung di Bank Indonesia Perwakilan NTB Rabu, 3 Juli 2024.
Ia mengatakan, sektor pertanian juga menjadi sumber emisi gas rumah kaca yaitu dari persawahan, peternakan, dan proses pembakaran jerami setelah panen padi di sawah. Sehingga pemerintah daerah perlu memberikan intervensi dalam hal daur ulang limbah pertanian agar tidak memberikan andil terhadap emisi gas rumah kaca.
“Kita bisa lakukan proses optimalisasi sumber-sumber alam agar kita dapat melakukan proses daur ulang. Tidak membakar jerami misalnya,” katanya.
Perubahan iklim diketahui berdampak negatif pada sektor pertanian seperti misalnya organisme pengganggu tanaman, banjir, kekeringan, dan mempengaruhi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan daerah.
Sebenarnya sektor pertanian kata Iswandi memberi andil terhadap lingkungan, salah satunya penyimpanan karbon. Para ahli meyakini bahwa menjaga agar tanah tertutup sepanjang tahun daripada tidak ditanami merupakan salah satu praktik yang dapat mengurangi emisi gas yang menaikkan temperatur bumi sekaligus meningkatkan ekonomi pertanian.
“Sektor pertanian memiliki peluang untuk berkontribusi pada penurunan emisi untuk penyimpanan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca dengan optimalisasi aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” katanya.Hal ini harus diperkuat dalam 20 tahun kedepan. Dalam hal ini, NTB banyak dibantu oleh mitra-mitra pembangunan atau NGO yang konsen di bidang lingkungan.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Mataram (Unram) Dr. Prayitno Basuki mengatakan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim di Indonesia bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024. Dampak tersebut dapat diturunkan menjadi Rp 57 triliun jika kita melakukan langkah-langkah untuk menghadapi perubahan iklim. Provinsi NTB pun demikian, diprediksi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim di NTB diprediksi lebih dari Rp1 triliun.
“PBD nasional itu Rp2895,4 triliun. Jika dipersentasekan sekitar 0,55 persen dampak (perubahan iklim). Kalau untuk NTB kelihatannya lebih besar dari 0,55 persen itu karena memang kita daerah pertanian. Mungkin di bawah sedikit dari 1 persen. Jika di bawah sedikit dari 1 persen dengan PDRB kita di 2023 sebesar 166,3 triliun, sekitar antara 1 sampai 1 koma sekian triliun (dampak kerugian ekonomi di NTB),” kata Prayitno Basuki.
Ia mengatakan, Badan Litbang Pertanian memprediksi areal sawah yang mengalami gagal panen akibat kekeringan akan meningkat dari 0,04-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen, luas areal tanaman padi yang mengalami puso (gagal panen) akibat banjir akan meningkat dari 0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen. Kemudian bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi nasional dari 2,45- 5,0 persen menjadi lebih dari 10 persen.(ris)